Lebih jauh, Prof Ali mengatakan bahwa kebhinekaan yang dimuat dalam Pancasila merupakan semangat yang harus terus dikembangkan dalam menjalankan kepemimpinan di UGM, sehingga menjadikan UGM sebagai “Rumah Besar” bagi seluruh civitas akademika di lingkungan Kampus Perjuangan itu.

“Bahkan setiap dosen, karyawan (tenaga kependidikan) dan mahasiswa harus memahami nilai-nilai dan budaya ini, yaitu nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika,” jelasnya.

Disamping konsep kebhinekaan, konteks keadilan gender dan ramah difabel harus dikembangkan. Pada hakikatnya setiap orang memiliki risiko menjadi difabel dengan berbagai alasan. Oleh karena itu, sesama manusia juga antara laki-laki dan perempuan adalah setara, mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama. Dalam konteks UGM sebagai universitas pusat kebudayaan, maka kepemimpinan baru nanti harus dapat menjamin adanya keadilan gender dan mampu mencegah munculnya kebijakan atau praktik diskriminasi, segregasi, dan eksklusi berbasis perbedaan gender.

“Mendukung kredo ‘Hamemayu Hayuning Bawono’ yaitu mempercantik dunia yang sudah cantik nan indah ini, yang artinya UGM dan output yang dihasilkan untuk menebar aura kebaikan dan kebahagiaan kepada sesama manusia dan alam. Daya kritis insan UGM dioptimalkan untuk merangkai, menemukan titik-titik simpul kebhinekaan sebagai cara pandang positif dalam budaya pembelajaran menuju sinergisitas gerak sehingga menjadikannya sebagai aset untuk membangun bangsa,” tandas Prof Ali.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka