Polri telah menangkap 283 terduga teroris pascabom bunuh diri di Surabaya pada Mei 2018 lalu. Penangkapan tersebut juga gencar dilakukan dalam rangka mengamankan perhelatan Asian Games 2018.

“Kita sudah melakukan penangkapan, laporan terakhir ke saya tadi malam 283 yang ditangkap pasca-bom Surabaya,” ujar Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian di PTIK, Jakarta Selatan, Selasa (7/8).

Tingginya intensitas penangkapan terduga teroris ini juga didukung Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme yang baru saja disahkan. Ditambah lagi adanya putusan pengadilan yang menyatakan Jamaah Anshor Daulah (JAD) sebagai korporasi terlarang.

“Artinya siapapun juga yang berhubungan membantu, menjadi anggota (JAD) dapat dipidana. Yang dulu di UU lama tidak, harus ada bukti dulu, senjatanya, perencanaannya, harus ada aksinya, terlambat kita. Nah, UU memberikan peluang baru dan kita akan bekerja terus,” kata Tito.

Pemberantasan teroris tersebut linier dengan upaya pengamanan Asian Games 2018 dan beberapa agenda besar setelahnya. Terorisme menjadi isu krusial yang harus diantisipasi Polri.

Tito mengatakan, pihaknya akan terus melakukan operasi penangkapan terhadap terduga teroris. “Saya minta terus melakukan penangkapan-penangkapan,” ucap Tito menegaskan.

Untuk memberantas terorisme, pihaknya telah membentuk satuan tugas antiteror di polda-polda yang tersebar di 34 provinsi. Satgas tersebut dibentuk untuk memperkuat tugas Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.

Tak hanya Polri yang terlibat aktif dalam pemberantasan terorisme jelang Asian Games 2018, TNI sebagai garda terdepan dalam pertahanan negara juga dilibatkan. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto saat memimpin upacara Penutupan dan Simulasi Kegiatan Pelatihan Mitigasi Aksi Terorisme Integrative dalam upaya pengamanan dan pelaksanaan Asian Games 2018 menuturkan bahwa pentingnya latihan bersama TNI-Polri untuk memberikan rasa aman baik terhadap atlet, official ataupun penonton yang datang dari dalam dan luar negeri.

“Bahwa jaminan keamanan terhadap ancamana aksi terorisme sudah bisa ditangani dengan cara kita melatih mensimulasikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi,” ucapnya.

Hadi menambahkan selain melakukan pelatihan-pelatihan, antisipasi yang dilakukan yakni dengan melakukan patroli terhadap ancaman-ancaman cyber yang dapat menganggu Asian Games.

“Yang baru kita lihat adalah operasi secara fisik, namun operasi yang non fisik juga kita laksanakan. Di antaranya adalah patroli terhadap adanya ancaman-ancaman cyber terhadap kemungkinan juga menjadi sarana dalam rangka memberikan info atau mengacaukan jalannya pesta olahraga Asian Games ke 2018,” jelas Hadi.

Operasi penangkapan teroris dengan landasan hukumnya mengacu ke UU No 5/2018 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme ini menuai kritikan.

Koordinator Tim Pengacara Muslim (TPM) Achmad Michdan menilai penangkapan besar-besaran yang dilakukan polri tidak transparan. Sebab menurutnya keluarga orang-orang yang ditangkap tidak mendapatkan penjelasan.

“Kalau mereka ditangkap, ditahan dalam kondisi tidak melakukan kejahatan teror, dan hanya diduga, tentu pihak keluarga bisa mendapatkan penjelasan,” kata Michdan kepada Tirto, Senin (6/8).

Penangkapan para terduga teroris mestinya tetap tunduk pada asas praduga tak bersalah dan aturan hukum. Sebab tanpa hal itu usaha penangkapan akan berpotensi memantik ketidakpuasan dan memicu perasaan sebagai korban. “Jika ingin bicara tentang hukum yang baik dan kondusif,” ujarnya.

3. Ada Aroma Korupsi dalam Persiapan Asian Games

Halaman Selanjutnya…