Meski sudah memberikan klarifikasi dan permohonan maaf, akan tetapi pribahasa ‘Dalamnya Laut Dapat Diukur Dalamnya Hati Siapa Yang Tahu’, menjadi satu ungkapan yang tepat dalam melihat peristiwa tersebut.
Pasalnya, tidak hanya di kalangan da’i dan mubaligh saja, rekomendasi yang dikeluarkan Menag Lukman Hakim tidak dapat ditolak untuk masuk dalam ranah politik. Sebab, kebijakan yang diambil Menag merupakan kebijakan publik bermuatan politik.
Dari landasan tersebut, kemudian muncul kekhawatiran, apa yang dilakukan pemerintah melalui Menag sebagai bentuk upaya membelah atau sedang menerapkan politik belah bambu, dan itu kuat dugaannya dengan kondisi umat Islam yang justru tengah bersatu alias memperkuat ‘shaf-shaf shalatnya’ pasca sejumlah peristiwa Pilkada DKI Jakarta.
Terlebih lagi, adanya dukungan dari sejumlah mubaligh maupun dai yang sangat keras mengingatkan agar pemerintah tidak menyalahgunakan amanah yang diberikan. Sehingga, salah satunya, upaya yang dilakukan dengan mencoba membelah bukan ditingkatan grassroot atau akar rumput melainkan pada tataran para ulama.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan menyebut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin ngawur dan blunder terkait dengan daftar 200 nama mubaligh tersebut. Menurut Zulkifli, rekomendasi Lukman itu merupakan politik pecah belah.
“Itu politik belah bambu, terhadap ulama, terhadap anak negeri, 200 diambil, yang lain dipijak,” katanya saat memberikan sambutan dalam acara peringatan 20 tahun reformasi di Gedung Nusantara, Senayan, Senin, 21 Mei 2018.