KPK Pastikan Kantongi Bukti di Kasus RS Sumber Waras
Ilustrasi KPK kantungi bukti kasus RS Sumber Waras

Jakarta, Aktual.com — Direktur Utama RS Sumber Waras (RSSW), Abraham Tedjanegara, berkeyakinan, lahannya takkan dikuasai negara, kendati berstatus hak guna bangunan (HGB).

Dia lantas mencontohkan dengan sebuah rumah tinggal. Menurutnya, setiap rumah memiliki Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Dan ketika massa pemakaiannya berakhir, tidak serta merta langsung dikuasai negara.

“Orang tua saya juga punya rumah. Saya yakin, punya PBB. Apakah ketika habis, akan serta merta kembali kepada negara? Saya yakin tidak,” ujarnya dalam jumpa pers di RSSW, Grogol, Jakarta Pusat, Sabtu (16/4).

Saat disinggung sejarah lahan RSSW seluas 3,6 ha yang dijual ke Pemprov DKI pada 2014 silam berstatus HGB dan lahan lainnya sekira seluas 3,3 ha bersertifikat hak milik (SHM) atas nama Perhimpunan Sosial Sin Ming Hui atau kini menjadi Perhimpunan Sosial Candra Naya, Abraham mengaku tidak tahu.

Alumnus Universitas Trisakti ini juga menjawab demikian, ketika disinggung soal lahan RSSW hingga kini masih memiliki satu nomor objek pajak (NOP) dan mempengaruhi terbitnya satu lembar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

“Jadi gini, untuk dua sertifikat, satu PBB. Itu yang atur kan pemerintah. Dan kita tidak tahu, kenapa kok jadi satu PBB. Itu sudah dari tahun 70-an,” paparnya.

Disisi lain, berdasarkan PP No. 40/1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai Atas Tanah, diketahui HGB atas tanah negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Ini, sesuai Pasal 22 ayat (1).

Sedangkan pada Pasal 25 ayat (1) berbunyi, “Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun.”

Kemudian, Pasal 25 ayat (2), menyatakan, “Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada berkas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah sama.”

Menurut pengamat hukum Masnur Marzuki, bunyi ‘dapat’ pada pasal tersebut bisa diartikan, bahwasanya pemerintah berkewenangan untuk tidak memperpanjang masa HGB YKSW.

“Perpanjangan HGB untuk pertama kali itu kan sudah dilakukan pada ’98 lalu dan berakhir pada 2018 nanti. Artinya, pemerintah bisa mengambil sikap, apakah perlu diperpanjang lagi nantinya atau tidak,” ujarnya kepada Aktual.com, terpisah.

“Apabila memang pendirian RS khusus kanker cukup urgent, kan bisa ditolak (perpanjangan HGB), lalu dimanfaatkan sendiri. Jadi, tidak perlu membeli lagi dari YKSW,” tandas akademisi Universitas Islam Indonesia (UII) ini.

Artikel ini ditulis oleh: