Di tengah kesibukan polemik mengenai kasus kabar tidak benar (hoax) yang dilakukan aktivis Ratna Sarumpaet hingga menyeret sejumlah tokoh politik, publik sempat terkejut dengan perubahan harga bahan bakar minyak (BBM). Terlebih, awalnya kenaikan harga BBM juga berimbas pada bensin RON 88 yakni premium.

Seakan memiliki kesempatan menyerang, dan berharap menutup kasus yang dianggap merugikan secara elektabilitas kandidat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut nomor 02 pun bereaksi.

Seperti yang disampaikan Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria terhadap kenaikan BBM jenis Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, Pertamina Dex, dan Biosolar Non PSO. Padahal, harga minyak dunia pada hari ini kembali turun lantaran stok cadangan minyak Amerika Serikat (AS) mengalami peningkatan.

Ia menegaskan kenaikan ini jadi bukti pemerintah selalu terburu-buru mengambil keputusa. “Pemerintah gagal memprediksi penurunan harga minyak dunia. Harga minyak dunia kan turun, tapi kita malah naikin,” kata Riza, di Jakarta, Jumat (12/10).

Selain itu, Riza menuturkan, pemerintah seharusnya melakukan perencanaan yang lebih matang sebelum membuat keputusan menaikan harga BBM. Persoalan ini menjadi bukti bahwa pemerintah tidak kompak dalam mengambil kebijakan.

“Publik dipertontonkan sesuatu yang tidak kompak. Mulai dari kasus gula, kasus BBM, Beras. Pemerintah harusnya ada perencaanan yang matang dan komprehensif soal manajemen minyak kita. Kapan harus naik dan turun,” ungkapnya.

Di samping itu, Riza juga meminta pemerintah harus sportif dalam menangani berbagai persoalan bangsa. Dia menginginkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampil di kala dalam kondisi menaikan maupun menurunkan BBM.

“Kalau naik pak JK (Jusuf Kalla) yang ngomong atau menteri. Giliran turun baru tampil. Pemimpin itu harus berani sportif, seperti Prabawo. Sekali pun ada kasus Ratna yang pahit, Prabawo tampil dengan gentleman dan jujur,” ketus dia.

Tidak hanya Pertamax Cs alias Non PSO, pemerintahan Presiden Jokowi juga sudah berencana untuk menaikan harga bahan bakar jenis Premium yang notabenenya subsidi dan sudah jarang ditemukan di sejumlah SPBU.

Kendati demikian, Presiden Jokowi yang juga merupakan calon presiden di Pilpres 2019 sebagai petahana tidak mau menjadi sasaran tembak bagi para lawan politiknya atas kebijakannya tersebut. Mantan Walikota Solo itu langsung membatalkan keputusan Menteri ESDM Ignasius Jonan untuk menaikan harga Premium.

Bahkan, Jonan menyebutkan setidaknya ada sejumlah alasan yang mendasari pemerintah sempat berencana menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM jenis premium.  Ia menyebutkan, rencana kenaikan harga BBM jenis premium terkait dengan harga minyak mentah dunia telah naik sejak awal tahun lalu.

Menurut mantan menteri perhubungan tersebut, harga minyak mentah jenis Brent telah naik sebanyak 30 persen sedangkan kenaikan ICP telah naik sebanyak 25 persen. “Karena naik terus (harga) ini ICP, kurang lebih 25 persen,” ujar Jonan saat mengelar konferensi pers di Hotel Sofitel, Nusa Dua, Bali, Rabu, (10/10).

Apalagi, sambung Jonan, PT Pertamina (Persero) selama ini banyak membeli BBM jenis premium tersebut. “Karena itu pemerintah sesuai arahan Presiden, premium dinaikkan,” kata dia.

Sebelumnya diberitakan, Menteri Jonan mengumumkan harga BBM bakal dinaikkan mulai hari ini pukul 18.00 WIB. “Pemerintah mempertimbangkan Premium mulai hari ini jam 18.00 WIB, paling cepat. Tergantung dari persiapan Pertamina mensosialisasikan sebanyak 2.500 SPBU yang menjual Premium naik sekitar 7 persen,” katanya.

Menteri Jonan mengatakan untuk kenaikan harga Premium di Jawa, Madura dan Bali naik dari Rp 6.550 per liter menjadi Rp 7.000 per liter. Sedangkan kenaikan di luar Jawa, Madura dan Bali naik menjadi Rp 6.900 per liter dari sebelumnya, Rp 6.450 per liter.

Seperti sudah jatuh tertimpa tangga, begitu posisi Capres-Cawapres petahana, meski sudah membatalkan ikhwal kenaikan harga BBM jenis premium bukan serta merta membuat ‘tembakan’ lawan politik kian mengecil, justru makin leluasa memuntahkan semua peluru yang dimiliki.

Penundaan itu pun menjadi ‘mainan’ baru yang dapat digoreng untuk terus mendeskriditkan posisi petahana yang kian menunjukan ketidakbecusannya dalam mengambil sebuah kebijakan publik.

Wakil Ketua Umum (Waketum) DPP Partai Gerindra Arief Poyuono misalnya. Ia menilai pembatalan terhadap kenaikan harga BBM jenis premium sebagai bentuk upaya pencitraan saja.

“Kangmas Joko Widodo panik. Udah naikin BBM Premium subsidi belum sejam dibatalin lagi, ha ha ha, pencitraan banget,” ujar Waketum Gerindra Arief Poyuono kepada wartawan, Rabu (10/10).

Tidak hanya itu, Arief juga menuding pembatalan itu karena Jokowi jaga image alias jaim. Ia lalu mengkaitkan kebijakan penundaan ini dengan Jokowi sebagai Capres nomor urut 01 yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin.

“Pembatalan kenaikan BBM Premium sebagai bentuk pribadi Joko Widodo yang jaim dan takut nggak populis. Sebab sudah dekat Pilpres ya,” ucap Arief.

“Yang pasti sampai di mana Kangmas Joko Widodo bisa tahan nggak naikin BBM Premium, sebab BBM Premium harus Naik karena harga minyak dunia itu trennya terus naik dan di akhir tahun bisa hingga 100 USD/barrel,” paparnya.

Bak gayung bersambut, sekutu politik Partai Gerindra, yakni Partai Amanat Nasional (PAN) pun ikut angkat suara mengenai pembatalan kenaikan BBM jenis premium yang sebelumnya sudah disampaikan Menteri ESDM akan mengalami kenaikan seperti BBM jenis non PSO.

Wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN Dradjad Wibowo berkelakar jika penundaan itu bisa membuat Menteri ESDM Ignasius Jonan jadi tersangka kasus hoax.

“Jika memakai terminologi sekarang, harusnya Menteri Jonan bisa dikenakan pasal-pasal hoax he he he. Periksa Jonan dong Pak Polisi,” kelakar Wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN Dradjad Wibowo seperti yang dikutip dari detikcom, Rabu (10/10).

Dia menilai pembatalan tersebut menunjukkan buruknya manajemen pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dradjad mempertanyakan pengambilan keputusan kenaikan premium tersebut.

“Kejadian ini kembali membuktikan bahwa manajemen pemerintah ini acak-acakan,” terangnya.

Dradjad mengungkapkan, kenaikan BBM di Indonesia dipengaruhi harga minyak dunia yang naik cukup tinggi. Menurutnya, dari kejadian ini terlihat pemerintah tidak siap menghadapi kenaikan harga minyak.

“Apa Menteri Jonan nyelonong sendiri mengumumkan kenaikan harga premium tanpa persetujuan Presiden? Apa kebijakan se-strategis itu, dan menyangkut hajat hidup rakyat banyak, tidak dibahas dalam rapat Kabinet?,” tanyanya.

Hanya selang beberapa menit, pemerintah membatalkan kenaikan harga Premium. Pertamina menurut Menteri ESDM Ignasius Jonan tidak siap menaikkan harga Premium.

“Sesuai arahan bapak Presiden rencana kenaikan harga Premium di Jamali menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, secepatnya pukul 18.00 hari ini, agar ditunda,” kata Menteri ESDM Ignasius Jonan di kawasan Nusa Dua, Rabu (10/10).

Sementara itu, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Maruf Amin, Arsul Sani menilai pihak di luar pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedih karena harga premium tidak jadi naik  jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Ia berpandangan, isu kenaikan harga BBM bisa jadi komoditi politik untuk diolah kubu oposisi di tahun politik ini.

“Kalau tidak naik yang paling kecewa oposisi. Teman luar pemerintah kecewa enggak jadi naik, enggak ada gorengan besar, jadinya gorengan kecil,” kata Arsul di Komplek Parlemen, Senayan, Kamis (11/10)

Pada Rabu (10/10), Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan sempat menyatakan harga premium resmi naik pukul 18.00 WIB di seluruh Indonesia. Kenaikan dinilai bisa membantu menahan pelemahan nilai tukar rupiah.

Arsul mengklaim, jika kenaikan harga premium itu baru sebatas usulan dari bawah, yakni PT Pertamina, yang disampaikan ke Menteri ESDM Ignasius Jonan.

“Itu baru usulan belum diputuskan. Kecuali, diumumkan resmi kemudian dibatalkan,” sebut sekretaris jenderal PPP ini.

Ia berpendapat, penundaan itu disebabkan Presiden Jokowi menginginkan stabilitas harga bagi masyarakat.

Bahkan, kenaikan harga premium bisa memengaruhi stabilitas harga yang diupayakan pemerintah selama ini. “Presiden juga mempertimbangkan kondisi daya beli masyarakat, sehingga menunda kenaikan harga premium,” pungkasnya.

 Terima Nasib

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang