Jakarta, Aktual.com — Kejaksaan Agung (Kejagung) masih menunggu kehadiran mantan komisaris dan direktur utama PT Mobile 8 Telecom untuk diperiksa terkait kasus dugaan korupsi kelebihan pembayaran (restitusi) pajak PT Mobile 8 Telecom (PT Smartfren) tahun 2007-2009.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Amir Yanto mengatakan, penyidik masih menunggu dua mantan pejabat PT Mobil 8 Telecom karena belum memenuhi panggilan penyidik.

“Kedua mantan pejabat PT Mobile 8 Telecom adalah Mohammad Suleiman Hidayat selaku mantan komisaris dan Widyasmoro Sih Handayanto selaku mantan direktur utama (Dirut),” kata Amir di Kejagung, Rabu (13/1).

Kejagung mensinyalir PT Mobile8 Telecom memanipulasi transaksi penjualan produk telekomunikasi, di antaranya telepon seluler dan pulsa kepada distributor di Surabaya, yakni PT Djaja Nusantara Komunikasi (DNK) senilai Rp 80 milyar selama tahun 2007-2009.

Menurut Jaksa Agung Prasetyo, PT DNK tidak sanggup membayar pembelian barang produk komunikasi senilai Rp 80 milyar kepada PT Mobile8 Telekom selama tahun 2007-2009 itu.

“Sebenarnya, PT Djaya Nusantara Komunikasi tidak mampu untuk membeli barang dalam jumlah tersebut,” kata Prasetyo kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Indikasi tersebut kian menguat dengan adanya keterangan Direktur PT DNK, Eliana Djaya, bahwa traksaksi senilai Rp 80 milyar tersebut merupakan hasil manipulasi untuk menyiasati seolah-olah ada transaksi sejumlah itu.

“Sesuai keterangan Eliana Djaya, bahwa transaksi perdagangan tersebut hanyalah seolah-olah ada. Dan untuk kelengkapan administrasi, pihak Mobile8 Telecom akan mentransfer uang sebanyak Rp 80 milyar ke rekening PT Djaja Nusantara Komunikasi,” kata Prasetyo.

Bulan Desember 2007, PT Mobile8 Telecom dua kali mentransfer uang, masing-masing sejumlah Rp 50 milyar dan Rp 30 milyar. Untuk menyiasati agar seolah-olah terjadi jual-beli, maka dibuat invoice atau faktur yang sebelumnya dibuat purchase order.

“Jadi seolah-olah terdapat pemesanan barang dari PT DNK, yang faktanya, PT DNK tidak pernah menerima barang dari PT Mobile8 Telecom,” jelas Prasetyo.

Setahun kemudian, yakni 2008, PT DNK, menerima faktur pajak dari PT Mobile8 Telecom yang total nilainya Rp 114.986.400.000. Padahal, PT DNK tidak pernah melakukan pembelian dan pembayaran, serta merima barang.

“Diduga faktur pajak yang telah diterbitkan yang seolah-olah ada transaksi-transaksi antara PT Mobile8 Telecom dengan PT DNK, digunakan oleh PT Mobile8 Telecom untuk pengajuan kelebihan pembayaran (restitusi pajak) kepada KPP Surabaya, supaya masuk bursa di Jakarta,” katanya.

Atas ajuan tersebut, pada tahun 2009, PT Mobile8 Telecom menerima pembayaran restitusi pajak sejumlah Rp 10.748.156.345. Seharusnya, PT Mobile8 Telecom tidak berhak mendapatkan uang sejumlah Rp 10,7 milyar lebih karena tidak pernah ada jual-beli barang.

Karena KPP Surabaya mengabulkan permohonan kelebihan pajak atas dasar transaksi jual-beli fiktit PT Mobile8 Telecom yang saat itu dimiliki Harry Tanoesoedibjo, negara mengalami kerugian sekitar Rp 10 milyar.

“Tidak menutup kemungkinan, kerugian bertambah karena ini baru temuan awal,” tuturnya.

Kejaksaan Agung meningkatkan status penyelidikan ke penyidikan kasus dugaan korupsi pada pengajuan restitusi pajak (pergantian pajak) dari PT. Mobile8 Telecom ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Surabaya tahun 2012 agar masuk bursa di Jakarta.

Permohonan restitusi pajak lalu dikabulkan oleh KPP, padahal transaksi perdagangan fiktif dan transaksi tersebut dilakukan saat PT Mobil8 Telecom masih dimiliki Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby