Gedung-gedung bertingkat menjulang tinggi di Jakarta, Sabtu (24/2/18). Ekonomi nasional merupakan faktor yang sangat penting untuk mendorong sektor properti yang belakangan ini stagnan. Komitmen pemerintah untuk memperkuat daya saing dan memperbaiki iklim usaha dinilai Bank Indonesia perlu terus direalisasikan agar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi pada 2018 yang ditargetkan mencapai 5,1-5,5 persen (tahun ke tahun/yoy). AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, aktual.com – Proyeksi Bank Dunia untuk Indonesia, pada tahun 2019 akan bertumbuh 5,0%. Turun dari proyeksi IMF sebelumnya, yang menyebut Indonesia tahun 2019 dapat mencapai 5,2%. Berdasarkan proyeksi IMF juga, pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2019 berada di peringkat 33 di Dunia! Wajar bila dikatakan oleh Bappenas, pertumbuhan Indonesia yang dikisaran 5% tidak cukup untuk menghilangkan kemiskinan.

1. Pertumbuhan Ekonomi
Untuk mencapai pendapatan perkapita ukuran negara maju, dengan 5% bisa puluhan tahun upayanya. Malah, kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi Indonesia di akhir tahun 2019 dapat turun hingga di bawah 5% (kisaran 4,6-4,9%) seiring menjelangnya resesi dunia.

2. Ketimpangan Pendapatan
TNP2K dalam laporannya menyebut ketimpangan antara si kaya dan si miskin di Indonesia semakin melebar. Lembaga ini mengungkapkan, 1 persen orang Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Sementara, 10 persen keluarga terkaya menguasi 70 persen aset nasional.
Bandingkan dengan ketimpangan di Amerika Serikat, negara yang sering disebut paling liberal. Ternyata di negara Paman Sam tersebut, pada tahun 2014 sebanyak 1% orang terkaya menguasai 40% asset nasionalnya.

Artinya:
a. Jokowinomics periode 1 meningkatkan ketimpangan pendapatan, yang kaya semakin kaya dan semakin berkuasa (berhubungan dengan menguatnya oligarki di era ini).
b. Indonesia lebih timpang daripada Amerika Serikat, ekonomi Indonesia sudah terlalu kanan. Ugal-ugalan.

3.Beban Utang Luar Negeri
Yang perlu diwaspadai adalah utang luar negeri (ULN). Sampai September 2019, ULN didominasi oleh mata uang dollar AS (USD) yaitu sebesar 67% dari total ULN. ULN pemerintah dan bank sentral kurang dari 50% dalam USD, Sementara ULN swasta, 89,9%, hampir seluruhnya berupa dollar AS (USD).

Pertumbuhan ULN swasta sepanjang 2014-2019, selama 5 tahun “hanya” USD 34,2 miliar, sementara pertumbuhan ULN pemerintah pada periode yang sama lebih dari dua kali lipat: USD 70 miliar!

4. Defisit Transaksi Berjalan
Defisit transaksi berjalan Indonesia sebesar – 8,4 miliar USD di kuartal II 2019, masih yang terburuk di kawasan ASEAN. Yang tidak banyak berubah sejak masa Jokowi. Semakin besar defisit, semakin rentan mata uang Rp melemah terhadap aksi spekulasi. Meskipun memang benar efeknya tidak akan seburuk 1997.

Defisit transaksi berjalan yang besar menunjukkan bahwa selain kita ini hanya jago kandang, produktivitas juga rendah. Terlalu bergantung kepada impor dan aliran uang panas asing ke pasar uang, sementara ekspor melambat karena terjadi percepatan deindutrialisasi dan tidak kunjung datangnya investasi langsung yang berorientasi ekspor.

KESIMPULAN:

1. Salah pengelolaan ekonomi di era Jokowi mengakibatkan defisit transaksi berjalan yang besar, sehingga Indonesia menjadi negara di kawasan yang paling rentan terhadap resesi dunia. Seluruh tim ekonomi harus bertanggung jawab atas kegagalan ini, dengan cara tidak kembali masuk ke kabinet Jokowi jilid 2.

2. Pertumbuhan utang luar negeri pemerintah yang jauh lebih cepat (2 kali lipat) dari utang swasta harus disalahkan kepada Menteri Keuangan, apalagi bunga kupon yang diberikan pemerintah adalah yang tertinggi di kawasan sehingga merugikan perekonomian Negara ke depannya.

3. Daya beli rakyat Indonesia yang dilemahkan oleh tim ekonomi Jokowi dengan pencabutan subsidi energi, kenaikan iuran BPJS, kenaikan cukai rokok, dan pajak lainnya akan semakin memperlambat perekonomian di akhir tahun. Selain itu, dampak dari kebijakan pelemahan daya beli ini adalah ketimpangan antara kaya dan miskin yang sudah sangat buruk (lebih buruk dari AS) akan semakin memburuk, sehingga menjadi basis untuk terjadinya krisis sosial yang luas (bila bertemu dengan krisis politik dan resesi).

Oleh: Gede Sandra, Pergerakan Kedaulatan Rakyat

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Zaenal Arifin