Jakarta, aktual.com – Mantan Wakil Kepala Polri, Komjen Pol (Purn) Oegroseno, menyerukan revisi mendesak terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurutnya, KUHAP saat ini belum memberikan batasan waktu yang tegas dalam proses penyidikan, yang membuat banyak kasus hukum menggantung bertahun-tahun tanpa kejelasan.
Dalam diskusi bertajuk “RUU KUHAP dan Repositioning Penyidik Polri” di Jakarta Selatan, Jumat (30/5), Oegroseno menegaskan perlunya kepastian hukum melalui pembatasan waktu penanganan perkara. “Penyidikan itu harus dikasih tenggat waktu. Wajib lapor itu malah lebih berat dari ditahan, dan sekarang sifatnya unlimited. Harusnya, seperti berkas perkara lain, dikasih waktu: 20 hari, 30 hari, atau maksimal 160 hari,” tegasnya.
Mantan jenderal bintang tiga itu menyoroti praktik “menggantung” perkara oleh penyidik yang membuat masyarakat menjadi korban ketidakpastian hukum. Ia menyarankan, jika sebuah perkara belum bisa dituntaskan dalam tiga bulan, penyidik seharusnya mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sementara, hingga bukti baru ditemukan.
“Kalau sudah ada pelapor, terlapor, dan barang bukti, seharusnya penyidikan bisa selesai dalam waktu wajar. Tiga bulan cukup untuk perkara dengan dua alat bukti kuat,” paparnya.
Menurut Oegroseno, keterlambatan dalam proses hukum sering kali tidak beralasan, bahkan bisa menciptakan ruang penyalahgunaan wewenang. Ia menilai, berkas tidak perlu rumit untuk menetapkan status hukum seseorang.
“Jangan tunggu dokumen sampai tinggi-tinggi dulu, yang penting ada kepastian. Kepastian hukum dan waktu, itu kuncinya,” lanjutnya.
Lebih jauh, Oegroseno menyoroti fenomena “no viral, no justice” yang kerap terjadi belakangan ini. Ia menilai, jika kepastian hukum dan tenggat waktu diatur jelas, publik tak perlu menggantungkan harapan pada viralitas untuk mendapatkan keadilan.
“Kalau ada kepastian hukum dan tenggat waktu, masyarakat nggak perlu ribut-ribut, nggak perlu viral-viral segala. Hukum bekerja dengan sendirinya,” katanya.
Sementara itu, Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISSES), Bambang Rukminto, mengingatkan pentingnya peran DPR dalam proses revisi KUHAP. Ia mendorong agar Komisi III DPR RI membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya dalam penyusunan aturan yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat.
“Parlemen harus dengarkan suara publik. Revisi KUHAP ini menyangkut hak asasi, menyangkut keadilan yang sangat fundamental,” pungkas Bambang.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano