Aktivis Kamisan Sumarsih (kanan), Wakil koordinator bidang advokasi KontraS Yati Andrian (kedua kanan), Ayah dari korban penculikan dan penghilangan orang secara paksa Paian Siahaan (kedua kiri), Kepala Divisi Impunitas KontraS Feri Kusuma (kiri) memberikan keterangan pers mengenai penolakan pemberian gelar pahlawan bagi Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto di Kantor KontraS, Jakarta, Selasa (24/5). Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan korban pelanggaran HAM berat, menilai pemberian gelar pahlawan kepada Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto merupakan tindakan yang tidak tepat dan bertentangan dengan konteks keadilan. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/pd/16.

Jakarta, Aktual.com – Dokumen rahasia Kedutaan Besar AS yang dirilis ke publik mengungkapkan bahwa mantan Komandan Jenderal Korps Pasukan Khusus (Kopassus) Prabowo Subianto terlibat dalam penculikan aktivis pro-demokrasi di era 1998. Itu didasarkan sumber mahasiswa.

Hal itu tercantum dalam dokumen yang dirilis oleh National Security Archive, The George Washington University, tertanggal 7 Mei 1998.

Kini, kasus penghilangan paksa terhadap puluhan aktivis di tahun 1988 kembali mencuat di permukaan. Itu dikarenakan penuntasan kasus tersebut secara hukum belum terbukti, sehingga salah satu orang yang bertanggung jawab atas kasus itu yakni Prabowo, bisa kembali mencalonkan diri di Pilpres 2019.

Padahal menurut Deputi Direktur Riset Elsam Wahyudi Djafar, pada tahun 2009 Komnas HAM sudah memberikan rekomendasi atas penyelidikan kasus penghilangan terhadap para aktivis itu ke Kejaksaan Negeri dan DPR.

“Ketika itu DPR bentuk Pansus dan mengeluarkan empat rekomendasi atas hal itu,” kata Wahyudi ketika dihubungi, Jumat (15/3).

Empat rekomdasi hasil Pansus DPR itu pertama, merekomendasikan Presiden RI membentuk pengadilan HAM ad hoc. Kedua, merekomendasikan Presiden RI serta institusi pemerintah dan pihak terkait untuk mencari 13 aktivis yang masih hilang. Ketiga, merekomendasikan pemerintah merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang. Keempat, merekomendasikan pemerintah meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.

Namun demikan, hasil dari rekomndasi Pansus DPR itu belum berjalan hingga saat ini. Yang pada akhirnya, KPU dalam ini tidak bisa “menjegal” Prabowo Subianto yang kembali maju sebagai kandidat di Pilpres 2019.

“Karena ketika itu kasus Prabowo selesai di Dewan Perwira, dia diberhentikan. Termasuk juga tim Mawar, ada yang diberhentikan karena hanya etik saja,” kata dia.

Seperti halnya ketika 2014, ketika itu rekomendasi atas temuan Komnas HAM selalu berhenti ketika musim pemilu tiba.

“Ini memasuki lima tahun lagi, tapi belum ada tindasklanjut. DPR juga belum ada membahas tindaklanjut, sehingga KPU tidak bisa berbuat apa-apa karena kasus pelanggaran ham berat itu belum dibuktikan secara hukum,” kata dia.

Kedepan dia berharap, empat rekomendasi yang telah dilahirkan Pansus DPR itu dijalankan. Itu semua agar semua pihak, baik keluarga korban bisa mendapatkan kepastian.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Abdul Hamid