Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, memberikan bantahan dihadapan wartawan, di Gedung Nusantara III, Kompleksp Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (20/2), terkait perkataan Nazaruddin dalam persidangan kasus E-KTP. Selain menyampaikan bantahan secara tertulis yang berjudul "Grand Korupsi M.Nazaruddin", Fahri yang mengaku tidak pernah ada bisnis di DPR selama hampir 14 tahun menjadi anggota dan Pimpinan DPR, akan terus melawan persekongkolan Nazar dan KPK. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah, menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pemanggilan paksa oleh DPR, membuat fungsi pengawasan institusi tersebut atau “check and balances” menjadi lemah.

“Mekanisme pengawasan DPR kedepan semakin lemah karena kewenangan memanggil itu inti kekuatan DPR,” kata Fahri di Jakarta, Kamis (28/6).

Dia mengatakan keputusan itu meyakinkan dirinya bahwa MK masih menganggap UUD 1945 kita itu masih “executive heavy”.

Padahal menurut dia, sejak amendemen ke-4, konstitusi Indonesia pindah dari falsafah “concentration of power upon the president” menjadi “check and balances”.

“Kita Sudah meninggalkan rezim eksekutif kuat menuju keseimbangan kekuatan antara cabang-cabang kekuasaan,” ujarnya.

Menurut dia keseimbangan kekuatan itu ditunjukkan dengan fungsi pengawasan yang dilakukan lembaga legislatif dengan segala konsekuensinya seperti hak memanggil secara paksa apabila panggilan dalam rangka pengawasan tidak dipenuhi.

Dia mengatakan, bagaimana kalau seorang tidak mau datang diperiksa DPR, instrumen apa yang akan dipakai untuk mengawasi negara.

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU nomor 2 tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terkait dengan pemanggilan paksa dan penyanderaan oleh DPR melalui MKD, dan menyatakan sebagian ketentuan tersebut adalah inkonstitusional.

“Amar putusan menyatakan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, Kamis (28/6).

Pasal-pasal yang diuji adalah Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.

Dalam pertimbangan Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah menyatakan bahwa pemanggilan paksa hanya dapat digunakan untuk penyidikan dalam ranah penegakan hukum dan bukannya dalam rapat anggota dewan.

Selain itu, Mahkamah menegaskan bahwa MKD bukan alat yang digunakan sebagai tameng DPR untuk melindungi anggota DPR dari dugaan pencemaran nama baik yang kemudian merendahkan martabat para anggota DPR.

“Pada hakekatnya fungsi MKD adalah alat penegak etik bagi anggota DPR, dan jelas bukan alat penegak hukum,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Mahkamah berpendapat bahwa dalam ketentuan a quo posisi MKD telah mengambil ranah penegakan hukum. Selain itu, ketentuan a quo dinilai Mahkamah tidak menempatkan DPR sebagai subjek, namun norma itu justru menempatkan orang perorangan khususnya yang dinilai telah merendahkan martabat DPR, sebagai subjek hukum.

“Padahal orang perorangan yang dimaksud dalam pasal a quo adalah pihak yang sejatinya membantu MKD menjaga para anggota dewan supaya tidak melanggar kode etik,” kata Saldi.

Lebih lanjut Mahkamah menilai bahwa pasal-pasal a quo telah membuat masyarakat menjadi takut untuk memberikan pengawasan pada wakilnya dalam menyelenggarakan negara dan mengawasi para anggota DPR dari pelanggaran kode etik.

Sementara itu terkait dengan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 mengenai hak imunitas anggota DPR, Mahkamah memiliki pendapat dan pertimbangan sendiri untuk ketentuan a quo.

Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang juga membacakan pertimbangan Mahkamah mengatakan bahwa pertimbangan Mahkamah untuk Pasal 245 ayat (1) pada hakikatnya sejalan dengan apa yang dimohonkan oleh para pemohon.

Esensinya adalah syarat adanya pertimbangan MKD terlebih dahulu untuk memanggil anggota DPR dapat menjadi penghambat bahkan meniadakan syarat adanya persetujuan tertulis dari Presiden.

“Mahkamah akan menjatuhkan putusan yang dipandang lebih tepat sebagaimana termuat dalam amar putusan ini,” ujar Hakim Palguna.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: