Presiden Joko Widodo menghadiri acara pembukaan World Islamic Economic Forum (WIEF) ke-12 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa (2/8). WIEF ke-12 berlangsung dari 2-4 Agustus 2016. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/aww/16.

Jakarta, Aktual.com – Selama dua hari ini, 4-5 September 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri pertemuan puncak G20 di China. Untuk itu, dalam forum itu, Jokowi diminta untuk dapat menunjukkan sikap Indonesia dalam peningkatan daya saing Indonesia.

Menurut Suliadi, Advokasi Manager Indonesia for Global Justice (IGJ), salah satu NGO yang tergabung dalam Forum Masyarakat Sipil Indonesia, dalam rangka memperkuat daya saing bangsa ini, pemerintah harus menerapkan reformasi struktural di dalam perdagangan dan investasi.

“Dengan begitu kehadiran Presiden Jokowi di forum G20 itu harus digunakan untuk perjuangkan kepentingan Indonesia dalam memperkuat daya saing, bukan melemahkannya,” tutur Suliadi, di Jakarta, Senin (5/9).

Sejauh ini, kata dia, strategi peningkatan daya saing Indonesia sudah berjalan, seperti penerapan aturan kewajiban hilirisasi produk industri, kewajiban penggunaan produk lokal melalui TKDN, dan pembatasan impor bahan baku.

“Kebijakan ini tentu harus sejalan dengan semangat memperkuat pembangunan daya saing industri nasional menghadapi era keterbukaan,” tandasnya.

Dengan demikian, menurut Suliadi, arah reformasi struktural perjanjian perdagangan dan investasi jangan sampai menjadi ancaman bagi strategi peningkatan daya saing nasional.

Salah satu yang patut diwaspadai adalah terkait mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS). Jika tak diantisipasi, akan berdampak terhadap menyempitnya ruang kebijakan pemerintah melawan korporasi internasional.

Selain itu, dia menegaskan, kehadiran Jokowi di G20 juga harus dapat membahas masalah ketimpangan sosial, baik itu di dalam negeri maupun antar negara.

Apalagi, target pertumbuhan ekonomi global sebesar 2 persen dalam lima tahun terakhir yang menjadi target G20 haruslah menempatkan pembangunan manusia, kesetaraan gender, dan keberlanjutan lingkungan sebagai prioritas.

“Karena tidak ada gunanya pertumbuhan yang tinggi jika hanya dinikmati oleh segelintir orang,” cetusnya.

Terlebih berdasar penelitian telah menunjukkan, dalam sepuluh tahun terakhir, ketimpangan baik di dalam negeri maupun ketimpangan antar negara semakin melebar. Itu menunjukkan pertumbuhan semata tidak akan menjawab masalah pembangunan.

Namun sayangnya, kata dia, selama ini dalam mengurangi ketimpangan dan memperjuangkan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (SDGs), marak terjadi perjanjian internasional yang berorientasi pada perlindungan investasi tanpa memperhatikan pemenuhan hak-hak masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.

“Juga masih ada praktik-praktik pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif yang banyak dialami oleh negara-negara miskin dan berkembang;” jelas dia.

Maryati Abdullah, Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menambahkan, Indonesia juga harus menyuarakan kembali komitmen G20 dalam implementasi transparansi beneficial ownership.

Studi ONE di tahun 2014 menunjukkan, tidak adanya pengungkapan beneficial ownership yang jelas telah berakibat kerugian yang diderita satu negera, termasuk Indonesiam

“Sebanyak US$ 1 triliun hilang per-tahunnya atau sekitar Rp10 ribu triliun di negara berkembang sebagai hasil tindak pidana ilegal dari deal lintas negara,” pungkasnya.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka