“Kementerian Agama itu sebutan nomenklatur Lembaga/Kementerian, yang mengurus urusan Semua Agama. Nomenklatur Kementerian Agama tidak menyebut secara “eksklusif” urusan Kemenag bagi “mono” agama, tetapi urusan Kemenag terhadap “poli” agama,” katanya.

“Menteri Agama seharusnya bersikap adil, dengan memberikan ruang kebebasan melaksanakan ibadah kepada setiap umat beragama, di manapun mereka berada di Indonesia, tanpa perlakuan diskriminasi. Urusan ibadah merupakan wilayah keyakinan, termasuk Perayaan Ibadah Natal, yang dapat digolongkan sebagai urusan ‘believe system’, dalam keyakinan ajaran Injil/Alkitab,” tambahnya.

Bahkan Wandik juga mempertanyakan sikap Menteri Agama yang seakan-akan membenarkan terjadinya pelarangan Ibadah Natal karena adanya konsensus/kesepakatan bersama di tengah masyarakat dan pemerintah setempat.

“Apakah keyakinan agama Kristen dalam menjalankan Ibadah Natal, dalam pelaksanaannya dapat dikonsensuskan dengan pemeluk agama lain? Tentunya jawabannya tidak mungkin. Sebab, keyakinan tentang Ibadah Natal merupakan “Doktrin Agama” yang menjadi wilayah keyakinan umat Kristen/Katolik di manapun mereka berada. Sama halnya dengan agama lainnya seperti Islam, Hindu, dan Budha, apakah dalam pelaksanaan ibadah hari besar agama masing-masing agama tersebut, harus meminta izin atau harus ada kesepakatan dari umat Kristen?” tegas Wandik.

Wandik yang juga anggota DPR RI dari Dapil Papua ini khawatir, bahwa istilah “kesepakatan/konsensus” ini dibuat, dan dilegitimasi oleh Kemenag, hanya untuk sekedar memberikan justifikasi terhadap “masalah besar yang dialami oleh umat Kristen Sumatera Barat”, yang mengalami diskriminasi terkait pelaksanaan Ibadah Natal di daerahnya masing masing.

“Sebagai Kementerian yang mengurus urusan semua agama, seharusnya, Menteri Agama, tidak boleh sekedar menjadi juru bicara bagi satu golongan mayoritas di Sumatera Barat, dengan menyebutkan “ini hasil kesepakatan”. Tetapi, lupa dengan kewajiban Kemenag yang harus melindungi setiap praktek ibadah dan keyakinan setiap umat beragama di Indonesia. Bagi kami, “kesepakatan” itu hanya berarti alasan pembenaran yang seharusnya tidak boleh terjadi di negara Pancasila,” jelas Wandik.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Abdul Hamid