Beranda Headline Gara-Gara Mafia Tanah

Gara-Gara Mafia Tanah

KPA: Praktek Mafia Tanah Terjadi Karena Tidak Beresnya Pendataan Kepemilikan Tanah

Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA, Benni Wijaya
Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA, Benni Wijaya

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut kejahatan mafia tanah muncul karena negara masih abai dengan data kepemilikan tanah dan keterbukaan terhadap hal tersebut. KPA bahkan menuding kondisi tersebut sengaja dibiarkan terjadi lantaran sejumlah oknum di institusi negara menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jejaring mafia tanah.

Kepada reporter Aktual.com, Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA, Benni Wijaya menjelaskan bagaimana pola kerja mafia tanah dan siapa saja yang menjadi pelaku kejahatan pertanahan ini. Ironisnya, KPA bahkan menuding sentrum mafia tanah justru berada di dalam tubuh Kementerian ATR/ BPN.

Seperti apa sebenarnya praktek mafia tanah yang biasanya terjadi?

Praktek mafia tanah terjadi karena tumpang tindihnya data kepemilikan tanah dan ketertutupan data. Misalnya data-data HGU, konsesi-konsesi kehutanan itu kan tidak terbuka. Di situlah akar subur masalah praktek mafia tanah terjadi. Terus kedua, banyak mafia tanah itu sebenarnya perseteruan antara oknum-oknum di ATR/BPN dengan perusahaan-perusahaan. Ketertutupan data ini mengakibatkan pihak-pihak di Kementerian ATR bisa dengan leluasa memperjual-belikan konsesi-konsesi itu ke perusahaan.

Kenapa praktek mafia tanah marak terjadi di Indonesia?

Pertama praktek mafia tanah terjadi karena tidak beresnya pendataan kepemilikan tanah dan sistemnya yang belum juga rapi. Kedua penyelesaikan konflik di tanah-tanah yang tumpang tindih juga belum dikerjakan. Hal ini yang kemudian menjadi celah.

Misalnya ada tanah yang belum ada kepastian legalnya, tapi itu tidak pernah diselesaikan oleh pemerintah, kan ini menjadi peluang untuk mafia tanah memperjualkan itu. Nah ini juga diakomodir oleh oknum-oknum (Mafia Tanah) yang ada di Kementerian ATR BPN.

Sudah punya letter C (Girik) Tapi tetap tergusur?

Masa-masa tahun 60 an kayak di desa-desa tuh ada letter c atau surat girik. Sebenarnya itu resmi yang dikeluarkan pemerintah desa. Girik ini adalah pengakuan kepemilikan tanah dari desa. Seharusnya proses setelah itu diteruskan ke pemerintah pusat.

Tetapi masalahnya itu tidak dijalankan dan akhirnya itu tidak terdata di kementerian. Jadi pihak kementerian bilang di tanah ini belum ada yang berhak nih dan dianggap tanah negara yang bebas. Sehingga kementerian bisa memberikan konsesi. Misalnya ke perusahaan A. Akhirnya bentrok di lap angan padahal orang ini sudah punya girik.

Siapa sebenarnya oknum-oknum yang bermain dalam praktek mafia tanah?

Kalau gitu, kita gak bisa sebut ya. Tetapi kita harusnya sudah bisa memetakan di mana kantong-kantong mafia tanah bermain. Otomatis yang paling banyak di Kementerian ATR BPN itu sendiri, karena mereka yang berkuasa untuk menerbitkan izin. Bisa jadi didukung oleh pemerintah daerah setempat. Misalnya ada praktek politik ijon, sudah terlanjur berjanji dengan cukongnya, hal ini bisa saja terjadi. Nah masyarakat tidak bisa apa-apa selama keterbukaan informasi pertanahan ini tidak dibuka.
Intinya kalau proses administrasi pendataan kepemilikan tanah ini dilakukan secara benar (ada keterbukaan) supaya tidak ada lagi tumpang tindih kepemilikan atas tanah tertentu, maka praktek mafia tanah ini juga pelan-pelan akan berkurang.

Seberapa efektif program PTSL yang tengah berjalan saat ini?

Jadi memang urusan agraria atau pertanahan, kita punya UU Pokok Agraria. Salah satu mandat dari UU ini adalah pemerintah melakukan pendaftaran tanah secara serentak secara nasional melalui PTSL atau Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Tujuan pendaftaran tanah ini untuk mengetahui konsentrasi penguasaan tanah di Indonesia. Apakah di suatu wilayah ada ketimpangan kepemilikan tanah atau lebih luas lagi terkait penguasaan lahannya. Setelah itu barulah pemerintah melakukan distribusi dan penataan tanah.

Misalnya seperti ini, kalau dulu itu kan sertifikat tanah itu sulit sekali. Masyarakat jika ingin mensertifikasi tanah, harus bayar sekian juta. Belum lagi prosesnya berbelit-belit. Itukan selama ini jadi bancakan oknum-oknum BPN. Artinya masyarakat tuh malas mensertifikatkan tanahnya. Akhirnya apa, data itu tidak terdeteksi ke pusat.

Jadi status tanah yang gantung ini dimanfaatkan oknum-oknum tertentu. Yang jadi korban di sini siapa? Yah tentu dua belah pihak, bisa jadi masyarakat atau perusahaan bisa jadi korban.

Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) ini spiritnya hanya melegalkan penguasaan tanahnya tapi tidak merombak struktur kepemilikan tanah itu. Seharusnya sertifikasi itu proses administrasi terakhir, jadi kalau di reforma agraria itu ada pendaftaran tanah dulu. (Rep/NA)