Beranda Headline Gara-Gara Mafia Tanah

Gara-Gara Mafia Tanah

Pola Kerja Mafia Tanah

Menteri ATR/ BPN periode 2016 – 2022, Sofyan Djalil pernah mengindentifikasi mafia tanah sebagai orang jahat yang dengan segala caranya mengambil kepemilikan tanah orang lain. Sofyan Djalil menyatakan keberhasilan para mafia tanah ini melakukan kejahatannya lantaran disokong oleh banyaknya jaringan yang bekerja.

“Program kami juga memerangi mafia tanah yang masih ada di sekeliling kita. Orang jahat yang menggunakan cara ilegal, punya tanah tidak sah dengan macam modus. Datang ke pengadilan menyodorkan surat palsu, lalu keputusan pengadilan memenangkan palsu jadi asli. (Namun) Mafia tanah tidak banyak, yang banyak temannya. Oknumnya di BPN ada, aparat ada, pengadilan ada pengacara ada, PPAT ada,” kata dia seperti dikutip dari tayangan CNBC Indonesia TV.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pun menjelaskan dua kondisi yang membuat praktek mafia tanah marak terjadi di Indonesia. Pertama, menurut KPA, karena tidak beresnya pendataan kepemilikan tanah dan sistem pencatatan kepemilikan tanah. Kedua, penyelesaikan konflik di tanah-tanah yang tumpang tindih dan belum diselesaikan oleh Kementerian ATR/ BPN.

Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA, Benni Wijaya
Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA, Benni Wijaya (Aktual.com)

“Misalnya ada tanah yang belum ada kepastian legalnya, tapi itu tidak pernah diselesaikan oleh pemerintah. Kan ini menjadi peluang untuk mafia tanah memperjualkan itu. Nah ini juga diakomodir oleh oknum-oknum yang ada di Kementerian ATR BPN,” ujar Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA, Benni Wijaya kepada redaksi aktual.com.

Karena itu, Benni pun menuding mafia tanah didominasi oleh oknum di Kementerian Agraria Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN). Alasannya, karena mereka menjadi otoritas yang paling berwenang untuk menerbitkan izin penggunaan tanah. Penerbitan izin secara serampangan itu yang akhirnya menyebabkan sengketa dan konflik kepemilikan tanah terus terjadi.

“Kita gak bisa sebut ya. Tetapi kita seharusnya sudah bisa memetakan di mana kantong-kantong mafia tanah bermain. Otomatis yang paling banyak, oknum di Kementerian ATR/BPN itu sendiri. Karena mereka yang (paling) berkuasa untuk menerbitkan izin penggunaan tanah,” jelas dia.

Benni pun menegaskan sengketa atau konflik tanah biasanya terjadi karena adanya dua klaim yang dibuat antara masyarakat dan perusahaan. Klaim tersebut bersumber dari persoalan ketidakpastian legalitas yang dimiliki oleh keduanya. Kekhawatiran yang diakibatkan oleh ketidakpastian itu akhirnya membuat jejaring mafia tanah bekerja membela salah satu pihak.

Grafis Alur Kerja Mafia Tanah (Aktual.com)
Grafis Alur Kerja Mafia Tanah (Aktual.com)

Tak jauh berbeda, Wakil Ketua Komisi II DPR-RI Junimart Girsang juga sependapat bila aspek legalitas menjadi bagian modus operandi para mafia tanah untuk bekerja. Junimart menyebut aspek legalitas harus didapat setelah para mafia tanah ini berhasil memalsukan alas hak atas tanah seperti pemutihan lama, girik, petuk dan kekitir. Selanjutnya, ungkap dia, para mafia tanah ini kemudian akan mencari legalitas di pengadilan.

Karena itu, ungkap Junimart, mafia tanah hampir pasti membangun keterlibatan dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Terutama dalam kasus pemalsuan Akta Jual Beli (AJB). Dalam hal ini, modus yang biasa digunakan yaitu dengan melakukan pemalsuan atas surat kuasa menjual, membuat sertifikat palsu, dan sertifikat pengganti.

“Sebuah sertifikat pengganti bisa terbit karena adanya keterlibatan orang dalam,” kata politisi PDI Perjuangan tersebut.

Modus lainnya yang biasa digunakan mafia tanah adalah dengan menghilangkan warkah dan menggunakan para preman untuk menduduki tanah secara ilegal. Tak jarang mereka juga memakai jasa makelar tanah untuk mengelabui para korban.

Anggota Komisi II, Syamsurizal juga percaya persoalan tanah yang dilakukan mafia tanah, disebabkan oleh ketidaksinkronan data di Kementerian ATR/ BPN dengan Kementerian lainnya seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Merujuk pada data, Syamsyurizal menjelaskan 67 persen permasalahan tanah memang ada di KLHK, sementara sisanya sebanyak 33 persen ada di Kementerian ATR/BPN.

“Kami ingin penjelasan mengenai hal ini, karena yang kami ketahui mafia-mafia tanah itu bersembunyi ketika HGU sudah berakhir masa operasionalnya. Ada sisa tanah dari yang pernah digunakan, itu tidak dilaporkan. Atau ada sisa tanah yang terlantar, atau kelebihan (jumlah luasan) tanah dari yang seharusnya tertulis dalam HGU. Disitulah mafia tanah masuk untuk kepentingan golongan atau pihak tertentu,” tuturnya.