Fenomena gerakan yang muncul baik itu dari politisi maupun murni dari aspirasi masyarakat tidak bisa dianggap remeh, terlebih oleh pemerintahan yang sedang berkuasa di suatu Negara. Belajar dari sejarah Negara yang berada di kawasan Asia saja, setidaknya ada dua Negara yang menjadikan kaus sebagai mediator perlawanan kepada rezim berkuasa. Seperti yang terjadi, di Malaysia dan Thailand misalnya.

Dua Negara yang merupakan tetangga Indonesia tersebut, perlu menjadi contoh bagi rezim pemerintahan Jokowi hari ini, terkait kaus #2019GantiPresiden yang kian massif. Seperti yang sering dijadikan senjata oleh politikus di negeri ini, dalam politik segala kemungkinan bisa saja terjadi.

Pada 2016, aksi besar-besaran yang melibatkan ribuan rakyat Malaysia melakukan gerakan turun ke jalan dalam rangka menggulingkan pemerintahan Najib Razak yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri.

Kelompok aktivis yang menyerukan unjuk rasa di sejumlah kota, mulai dari Kota Kinabalu hingga Kuching. Sebelumnya, kelompok pro-Najib yang menamakan diri kelompok “Kaus Merah” telah mengancam akan menyerang kelompok bersih yang berkaus ‘Kuning’.

Polisi Malaysia melakukan upaya pencegahan dini dengan menangkap para pemimpin kelompok “Kaus Merah” agar tidak terjadi bentrokan kedua massa.

Tidak hanya di Malaysia, seperti Thailand juga memiliki historis mengenai gerakan dengan kaus. Kudeta yang terjadi di negeri ‘gajah putih’ ini memicu ketidakstabilan politik dan konflik antara kaum royalis reaksioner, yakni kubu Kaus Kuning, dan para pendukung Thaksin, Kaus Merah, yang berlangsung selama lima tahun berikutnya.

Tahun 2007 partai pro-Thaksin memenangkan pemilu namun kemudian dilarang menduduki jabatannya oleh keputusan pengadilan tahun 2008, yang sebenarnya adalah kudeta yudisial.

Selama periode tersebut, titik kritis terjadi pada tahun 2010 ketika pengunjuk rasa kaus merah menggelar demonstrasi besar menentang pemerintahan terpilih, Abhisit Vejjajiva. Ini secara brutal diremukkan dengan aksi kekerasan oleh kaum monarkis.

Dalam kondisi kacau, kaum penguasa terpaksa menggelar Pemilu baru pada bulan Juli 2011 yang membawa Yingluck Shinawatra ke tampuk kekuasaan dengan platform yang memperlihatkan kedekatannya dengan Thaksin, sebuah kredensial yang jelas karena mereka adalah saudara kandung.

Menanggapi sejumlah historis soal, Pengkaji Geopolitik Global Future Institut (GFI) Hendrajit menilai, fenomena gerakan di Malaysia maupun Thailand satu konsep yang sebenarnya berbeda dengan gerakan yang saat ini berkembang di Indonesia.

Ia mengatakan, apa yang terjadi di kedua negara, terlebih di Thailand kecenderunganya pada gerakan perlawanan ekstra parlementer untuk melengserkan kekuasaan yang dipimpin Thaksin ketika itu.

“Kalau ini (gerakan #2019GantiPresiden) lebih pada legitimasi ke Jokowi untuk memasuki Pemilu 2019,” kata Hendrajit saat dihubungi aktual.com, di Jakarta, Kamis (26/4).

Masih dikatakan Hendrajit, gerakan yang cenderung dimainkan partai di luar koalisi Jokowi sebagai media dalam rangka memupuk kekuatan pada Pilpres nanti. Sebab, ketika pupuk dirasa sudah cukup maka baru akan ada sosok atau figur yang akan ditampilkan.

“Jadi gerakan kaus itu baru tahapan awal dalam rangka ‘memupuk’ belum mengolah dan mengukir yang konteksnya nanti memajukan sosok. Sehingga gerakan ini merupakan proses terkait legitimasi, tapi yang menarik gerakan seperti ini kini menjadi cultural,” papar dia.

Hendrajit juga menjelaskan jika gerakan yang berkembang masif saat ini merupakan modifikasi dari gerakan ABJ (asal bukan Jokowi). Namun, diksi tersebut justru mendapat respon negatif dari publik.

“Jadi memang repotnya di sisi lain ada yang ingin meradikalisasi gerakan ini, tapi ini kan gerakannya masih kategori absurd, dan ini kan sebenarnya antitesa dari ABJ (Asal Bukan Jokowi) yang kemudian gerakan itu banyak menuai kritik termasuk saya, menilai bahwa sudah tidak benar ini, kalau asal bukan Jokowi itu kan masuk dalam negatif statment, harusnya afirmatif (mengesahkan), cuma afirmatif kepada orang kan belum bisa karena baru di 2019 nanti,” sebut dia.”Sehingga hastage ini kelihatan memodifikasi ABJ yang banyak menuai kritik dan kontra produktif sebetulnya,” tambahnya.

Menurut dia, dalam dinamika menjelang pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden hingga Agustus 2018 nanti, semua akan melihat apakah kemudian lahir poros ketiga atau tengah yang diperkirakan merupakan gabungan dari tiga partai politik, Demokrat, PAN dan PKB.

Sebab, kalau kemudian poros ketiga tidak ada, artinya pertarungan sejak awal head to head antara Jokowi selaku incummbent dengan Prabowo Subianto Ketua DPP Partai Gerindra.

Pada konteks ini, sambung staf peneliti pada Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia (LPSI) milik mantan Menteri Dalam Negeri Jendral (Purn) Rudini itu, secara kasat mata adanya kerawanan (bila terjadi head to head,red). Karena ada keyakinan di masyarakat saat ini bahwa Prabowo bisa menang.

“Kalau kemudian tiba-tiba diakhir hasil (kalah) tentu tudingan adanya kecurangan pasti terjadi, cuma eskalasi untuk berkembang ke seperti Thaksin maupun Nazib belum bisa dilihat. Namun, akan sangat rawan pastinya, ssebab akan membuat terbelahnya pemilih kedua calon kandidat terulang lagi seperti yang terjadi di 2014 lalu,” ungkapnya.

“Sehingga, pada hakikatnya akan sangat bisa (serupa), ketika ada dampak delegitimasi dari hasil pada Pemilu nanti,” pungkas dia.

[pdfjs-viewer url=”http%3A%2F%2Fwww.aktual.com%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F04%2FAktual_26-April-2018_Gerakan-2019GantiPresiden-Simbol-Perubahan.pdf” viewer_width=100% viewer_height=1360px fullscreen=true download=true print=true]

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang