Jakarta, Aktual.com — Pemerintah Indonesia kini tengah bersengketa di World Trade Organization (WTO) atau Badan Perdagangan Dunia terkait kemasan polos rokok (plain packaging) yang diterapkan Australia. Indonesia menilai, kebijakan tersebut melanggar perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), atau perlindungan atas hak merek/paten.

Namun, sikap pemerintah yang membela industri rokok di panggung internasional itu justru menjadi ironi, ketika industri hasil tembakau (IHT) nasional terus digerogoti aneka aturan yang memberatkan industri.

“Gugatan terhadap Australia memiliki pesan, pemerintah berkepentingan terhadap perdagangan tembakau di luar negeri. Namun, Semangat pembelaan itu justru tidak tampak di dalam negeri,” ujar Pengamat ekonomi politik, Salamudin Daeng di Jakarta, Senin (22/6).

Fakta menunjukkan, IHT terus diganggu. Belum lagi penerapan cukai yang tinggi plus pajak-pajak lain yang memberatkan. Dengan berbagai belenggu aturan itu, Daeng pesimistis, IHT mampu bersaing di perdagangan internasional.

“Gugatan ke Australia melalui WTO ini bisa kehilangan faedahnya kalau kemudian berbagai kebijakan di dalam negeri justru tidak memberi dukungan terhadap industri tembakau,” tandasnya.

Seharusnya, pemerintah bersikap konsisten dengan menunjukkan pembelaan yang sama untuk IHT di dalam negeri. Bentuk pembelaan pemerintah itu bisa ditunjukan, misalnya, dengan memperbaiki regulasi yang cenderung “memusuhi” IHT, memperbaiki struktur industri agar bisa bersaing di pasar internasional, subsidi untuk petani tembakau agar harga bisa bersaing dengan tembakau impor asal Tiongkok.

“Bahkan kalau perlu asuransi pertanian untuk melindungi petani dari gagal panen atau bencana,” imbuhnya.

Pada level kebijakan perdagangan dan keuangan, perlu diterapkan lagi bea masuk untuk melindungi produk tembakau dalam negeri. Juga tidak kalah penting, suku bunga industri ditekan. Jika tidak, maka industri dalam negeri bisa mati.

“Kalau kemudian biaya tenaga kerja 25 persen, kemudian biaya gabungan pajak cukai mencapai 25 persen maka maka industri tidak efisien. Ujungnya, pemerintah juga yang rugi karena harus menanggung beban pengangguran akibat rontoknya IHT,” ujar Daeng, panjang lebar.

Tanpa ada komitmen dan perbaikan regulasi seperti itu, maka langkah pemerintah menggugat Australia di WTO, hanya menjadi sandiwara agar pemerintah dianggap melindungi IHT. Lagi pula, ongkos bayar pengacara untuk gugatan ini juga hanya menghabiskan pajak yang sudah dibayar oleh rakyat.

“Gugatan itu harus ada signifikasinya bagi industri dalam negeri,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka