Oleh: Mbak Butet
Jakarta, aktual.com – Kesibukan saya belakangan ini membuat saya baru buka FB tadi siang. Itu pun karena ada link yang disematkan oleh mbak Qurrota Ayun Elfahmi di sebuah whatsapp group.
Link tanggapan atas tulisan seseorang tentang Haji Furodah.
Setelah melahap tulisan tanggapan tersebut, baru saya membaca tulisan dengan Judul: “Ketika Visa Langit Ditutup” yang sudah dishare ribuan orang.
Tulisan itu membahas tentang visa haji furodah yang tidak terbit tahun ini.
Saya tidak mau membandingkan nominal yang tertulis di sana cukup untuk mobil mewah/rumah/menyekolahkan anak, karena, sesuatu yang berurusan dengan Tuhan tidak bisa dibandingkan dengan apapun.
Kalau urusan dengan Tuhan, orang bersedia koq untuk menyisihkan hasil dagang lupisnya dikit demi sedikit untuk bisa dapatkan porsi haji reguler. Begitu terkumpul, kenapa tidak untuk simpanan masa tua saja, tapi malah untuk berhaji. Ya, karena urusan dengan Tuhan tidak bisa dibandingkan dengan apapun.
Ini bukan urusan angka. Tapi ini tentang sebuah keputusan.
Jika dana tersebut mau dibelikan rumah ya monggo saja. Atau mau dibelikan mobil mewah ya sah-sah saja. Atau mau digunakan untuk berhaji ya boleh saja. Toh itu dana dia. Keputusan ada di pemilik dana, bukan ditangan nitizen.
Sepanjang pengalaman saya mengurus haji (baik haji reguler/khusus/furodah/mujamalah) saya mendapati beragam strata sosial dari jamaah. Tidak serta merta yang mengambil haji furodah itu mereka kaya raya. Ada juga koq yang dibayari orang.
Demikian juga yang menggunakan haji reguler yang antri, bukan berarti kastanya lebih rendah hingga disebut jelata. Banyak juga koq yang haji reguler itu direktur dan yang kaya raya.
Jadi, ini tentang keputusan. Bukan tentang uang.
Haji Furodah Bukan Tentang Fasilitas
Di alinea lain, dia membandingkan haji khusus dan haji furodah dengan kalimat yang tertulis seperti dibawah ini:
“… Tahun 2024 biaya haji furoda berkisar dari Rp 373,9 juta hingga Rp 975,3 juta. Sementara haji plus mulai dari Rp 159,7 juta. Di atas kertas, perbedaan ini sepadan, fasilitas mewah, hotel mepet Masjidil Haram, makanan halal yang lebih halal dari halal…. ”
Fix penulis belum paham tentang furodah. Karena furodah itu hanyalah cara untuk mendapatkan visa haji dan tidak ada kaitannya dengan fasilitas.
Barangkali dia nggak tahu bahwa banyak koq yang pakai haji furodah tapi di sananya tidak tinggal di hotel bintang 5. Banyak koq yang pakai visa haji furodah yang tinggalnya di apartemen sesuai sistem. Tidak upgrade ke hotel mepet Masjidil Haram.
Jadi haji dengan visa furodah itu tidak serta merta tentang kemewahan. Karena yang berhaji khusus itu tendanya lebih dekat ke jamarat dan termasuk VIP ketimbang haji furodah yang harganya lebih mahal tapi lokasinya jauh dari jamarat dan fasilitas tendanya standar.
Keadilan Tuhan Dalam Visa Furodah Yang Tidak Keluar
Dalam tulisan tersebut penulis menyatakan bahwa kegagalan tidak keluarnya visa furodah ini bukan kegagalan lokal, dan ia melanjutkan bahwa kejadian ini semacam tsunami spritiual global.
Dia tidak tahu, bahwa di Jordan sana ada seseorang yang mengharapkan bisa berhaji tahun ini dengan visa furodah, karena hanya itu satu-satunya jalan untuk bisa berhaji di waktu muda. Jika mengikuti aturan pemerintah, tahun ini adalah jatah jamaah yang lahir tahun 1951. Tahun depan untuk jamaah yang lahir tahun 1952 dan seterusnya. Sementara ia lahir di medio 70-an. Butuh 40 tahun lagi baru bisa berangkat haji.
Satu-satunya jalan hanyalah dengan haji furodah ini. Ia kumpulkan sedikit demi sedikit dananya untuk bisa mendapatkan visa haji furodah. Ia sudah bertekad, yang penting bisa berhaji, tidak peduli dengan fasilitas di Nusuk yang murah dan jauh dari Masjidil Haram, yang penting bisa berhaji sudah cukup. Mengingat kesehatannya yang semakin hari semakin menurun, ia ingin bisa berangkat haji secepat mungkin.
Lalu, dengan gebyah uyahnya, penulis bilang bahwa, jamaah kaya dari seluruh dunia serempak di tolak oleh langit dan ini menunjukkan keadilan Tuhan.
Sepertinya ia harus menjelaskan tentang konsep keadilan Tuhan lebih lanjut dalam hal ini, agar tidak salah persepsi.
Karena tanpa kejadian ini pun, kita semua yakini bahwa Tuhan maha adil. Sebagaimana adilnya Tuhan memberikan semua manusia otak, bedanya ada yang mau dipakai untuk berpikir ada yang tidak.
Jangan Salahkan Pemerintah
Alinea ini juga menggelitik. Yang menyalahkan pemerintah itu siapa? Untuk penyelenggara haji tanpa antri dengan menggunakan visa haji, pasti paham bahwa regulasi visa haji furodah itu bukan ditangan pemerintah, meski demikian haji furodah ini legal karena ada dalam Undang-Undang Haji No 8 Tahun 2019. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama menjalankan prinsip tugas dan fungsinya yaitu membina, melayani, dan mengayomi.
Haji furodah itu legal dan harus menginduk pada PIHK. Jadi nggak ada yang menyalahkan pemerintah. Karena baik jamaah ataupun penyelenggara sudah paham bahwa Haji Furodah ini non-kuota. Jadi tidak ada kaitan ada atau tidaknya visa haji furodah dengan pemerintah dan menyalahkan pemerintah.
Ditambah lagi kalimat terakhir dari aliena ini, Salah sendiri karena mengira visa itu hak, bukan kehendak. Sekali lagi, ia bisa menyampaikan seperti ini dasarnya apa? Ada keq ia mengangkat 1 jamaah yang diwawancarai dulu, atau apalah, atau apalah. Jadi tulisannya itu berdasar data, bukan kira-kira dari orang luar yang tidak ikut di proses haji furodah.
Sebab Tuhan Tidak Bisa Disuap
“Visa itu hanya terbit ketika Tuhan berkenan. Sebab Tuhan tidak bisa disuap. Surga tidak bisa disponsori. Kabah tidak bisa dibooking via travel agen yang menjanjikan “jalur cepat ke akhirat””.
Karena yang sedang dibahas adalah Haji Visa Furodah, bolehlah saya mengartikan bahwa Haji Visa Furodah ini seolah menyuap Tuhan. Itu yang pertama.
Yang kedua, seolah Haji Visa Furodah ini adalah iming-iming dari travel untuk jamaah yang mau jalur cepat ke akhirat.
Dan dialiea yang lain disebutkan seolah Haji Visa Furodah ini jalan by pass menuju surga.
Logika berpikir macam apa ini?
Travel itu hanya penyelenggara. Hanya pelayan tamu-tamu Allah. Yang menjadi tamu adalah jamaah. Yang mengundang adalah Allah. Bagaimana bisa travel menyuap Tuhan untuk bisa memberangkatkan jamaah haji dengan visa furodah yang mahal itu. Jika bisa Tuhan disuap, tentu para koruptor itu yang terlebih dahulu menyuap Tuhan agar bisa hidup tenang di akhirat, bukan para jamaah yang ingin beribadah haji tahun ini.
Ah sudah lah. Semakin saya membahasnya semakin pening kepala.
Tapi saya paksakan untuk menulis ini agar kita semua saling menjaga diri untuk tidak berkomentar yang aneh-aneh ditengah problematika visa furodah yang tahun ini ditiadakan oleh Saudi Arabia tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Untuk yang mengikuti dinamika haji/umroh, pasti tahu bahwa Saudi memang sering seperti ini. Tiba-tiba ada aturan baru. Tiba-tiba meniadakan sesuatu. Dan ini bukan karena Saudi ghosting. Tapi ya itulah Saudi.
Kita hanya bisa intropeksi diri. Semoga semua bisa mengambil hikmah dari kejadian kegagalan visa ini. Karena kegagalan visa furodah bukan hanya terjadi tahun ini. Sebelumnya pun banyak yang gagal. Hanya saja, saat itu tidak ada yang sejulid penulis yang tulisannya viral tersebut.
Tapi saya coba memunculkan berbagai udzur untuk bisa memaklumi kenapa penulis sedemikian “gemesssnya” dengan yang berhaji menggunakan haji furodah. Hingga ketika gagal berangkat sejumlah tuduhan tidak berdasar ia ungkapkan.
Saya coba memberi permakluman.
Bisa jadi dia tidak terpapar informasi lengkap tentang Haji Furodah hingga literasinya tidak berdasar. Bisa jadi ia menggunakan AI untuk menulis tentang furodah hingga rangkaian aliena satu ke alinea lainnya kadang tidak nyambung.
Atau bisa jadi bisa jadi lainnya. Namun, apapun itu, saya hanya ingin sampaikan satu hal.
Jika penulis ini bukan muslim, maka please, janganlah mengurusi ranah ibadah kami.
Jika penulis ini muslim, sangat disayangkan. Sejatinya sesama muslim itu bersaudara. Jika ada saudara kita yang kena musibah, jika tidak bisa berempathy, minimal bersimpatilah.
Jamaah sudah tidak berangkat, beban tentu ada. Jangan ditambah lagi dengan ocehan “Di hadapan Tuhan, saldo rekening tak lebih penting dari niat” Jika bukan karena niat, mana orang mau membayar ratusan juta. Tentu mereka sudah berniat. Hanya saja, niatnya belum terwujud di tahun ini.
Doakan saja, semoga jamaah yang gagal berangkat tahun 2025 dan yang baca tulisan ini sampai akhir bisa merasakan berwukuf di Arafah di tahun depan. Aaamiinn.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain