Fenomena “disgust & contempt” ini telah merebak seperti wabah di tengah masyarakat kita dalam 5 tahun terakhir. Repotnya, ini justru dikompori oleh “Para Ahli, Tokoh, Artis, Publik Figur, Intelektual, bahkan Ulama’ dari kedua kubu yang berseteru”. Plus dikipasi oleh para Die-Hard Sosmed Buzzer yang saling menghina dan jijik satu sama lain.

Prof. Haidt mengingatkan betapa bahayanya wabah “kegilaan massal” ini. Beberapa negara telah terbukti porak-poranda karenanya (Suriah, Venezuela, dll). Beberapa yang lain jadi terbelah dalam saling benci yang makin mengkristal (Amerika, Inggris, dll. termasuk Indonesia).

Di Amerika misalnya, tahun 60-an mereka tidak masalah mengawinkan anaknya dengan orang yang beda partai. Hari ini banyak yang tidak sudi besanan dengan pendukung presiden Trump. Jangan2 ini juga sudah terjadi di Indonesia.

Di Indonesia, Menjelang Pilpres 2014 saja, sudah ada 2.094 pasangan bercerai karena beda pandangan politik. Dan sepertinya 2019 kondisinya tidak mereda, malah semakin parah, bahkan ada orang yang sampai saling bunuh gara-gara beda pilihan capres.

Jadi mengapa ini terjadi? Prof. Haidt menjelaskan, bahwa fenomena ini terjadi paling tidak karena 5 sebab:

1. TRIBALISME:

Umat manusia terbiasa hidup berkelompok. Kita suka bikin “club dan gank” sambil bikin garis tegas “kami Vs. mereka”. Persebaya Vs Persema, Indonesia Vs Malaysia, Muslim Vs. Non-Muslim, Madura Vs Dayak, Kulit Putih Vs. Kulit Hitam, Cebong Vs. Kampret, Dll.

Artikel ini ditulis oleh: