Jakarta, Aktual.com – Salah satu tokoh intelijen Nasional, Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono memuji langkah Polri dan Densus 88 yang berhasil mengatasi aksi penyandraan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

Dalam drama yang berlangsung 36 jam lebih itu, sempat ada korban jiwa 5 dari Densus 88 dan 1 Narapidana kasus terorisme.

“Sebagai warga negara, saya mengucapkan selamat atas keberhasilan Polri dan Densus 88 yang berhasil melumpuhkan kelompok teroris, dan meminimalisir korban dalam insiden itu,” kata Hendropriyo yang dihubungi wartawan Kamis (10/5).

Ia mengatakan, narapidana terorisme merupakan pelanggar HAM golongan berat yang secara moral telah kehilangan hak asasinya.

“Kejahatan baru yang mereka perbuat di rutan Mako Brimob ini telah menelanjangi sendiri baju yuridis yang mereka kenakan,” tegas mantan Kepala BIN ini.

Disebutkan, dalam kasus pemberontakan di penjara yang dibarengi penyanderaan merupakan suasana kedaruratan yang sah utk diatasi dengan kekuatan fisik.

“Namun nalar intelijen pasukan Densus 88 berbuat lebih cerdas, sehingga berhasil mengatasi keadaan tanpa korban jiwa tambahan. Untuk prestasi tersebut saya ucapkan selamat dan terimakasih sebagai anggota masyarakat bangsa kita,” tambahnya.

Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) itu juga menyebutkan bahwa potensi teroris yang seperti pelaku di Mako Brimob tersebut cukup banyak di antara masyarakat. Sehingga masyarakat kita wajib turut serta segera membersihkan diri dari penyakit radikalisme.

“Ini sudah waktunya seluruh elemen bangsa kita bergerak bersama untuk mengamankan diri sendiri dari virus radikalisme yang subur bagi terorisme dalam segala bentuknya,” kata Hendropriyono.

Karena itu, imbuh dia, setiap lingkungan di seluruh pelosok teritorial RI, secara gotong-royong harus menolak kehadiran setiap sosok radikal baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati kembali ke kampungnya masing-masing.

“Saya ingatkan lagi bahwa dalam suasana kedaruratan seperti ini, tidak ada aturan apapun yang punya daya rekat. Kita tidak mngkin lagi dapat melaksanakan hukum, walaupun kita tidak boleh melanggarnya,” tegas Hendropriyono.

“Yang dapat kita lakukan adalah menerapkan hukum baru yang otomatis hadir dalam suasana seperti itu. Pada konteks kedaruratan, pilihannya to kill or to be killed, membunuh atau dibunuh. Itulah konteks hukum kedaruratan,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Teuku Wildan