“Pikiran mereka tidak lagi tergolong pendek sejengkal, melainkan hanya pendek seruas jari “kelingking-berkait”,” tegas Ricky, yang juga Dosen Pasca Sarjana IPB.

Fenomena impor cangkul, itu juga bisa memberi sinyal tidak sinkronnya berbagai lembaga kementerian dan perusahaan BUMN dalam mendukung industri dan pertanian nasional. Untuk itu, kata Ricky, political orietation dan political will  dalam membangun pertanian tidak boleh lekang oleh perubahan rezim pemerintah, serta juga tidak boleh lapuk oleh paradigma modernisasi dan teknologi.

Sehingga, setiap petani, baik pada tataran individu maupun komunal,  beserta satuan ruang yang menjadi tempat tercipta dan terjadinya rangkaian dinamika pertanian, harus  menjadi subjek utama yang harus selalu dijaga, diperkokoh dan diperbesar eksistensinya.

“Adapun jenis, kualitas serta kuantitas komoditas pertanian yang dipilih output yang harus direncanakan pencapaiannya utk menjamin terciptanya kedaulatan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia,” jelasnya.

Kata dia, ada sejumlah prasyarat agar sektor pertanian bisa mandiri. Pertama, adanya kesadaran yang tinggi akan hakekat pertanian, kedua; adanya kesungguhan  goodwill pemerintah untuk  menegakan hakekat pertanian, dan juga perlu dibuat  UU Pertanian.

“Pertanian haruslah bukan hanya dimaknai sebagai sektor pembangunan, bukan pula hanya sebagai komoditas ekonomi, maupun hanya sebagai “cultural history” saja. Secara hakekat, pertanian haruslah dimaknai dan dinyatakan sebagai soko-guru kehidupan,” tegas Ricky.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka