Den Haag, Aktual.com – Pukul 9 pagi, Selasa 10 November, sekitar 250 orang lebih sudah memadati Gedung Niuewe Kerk, Den Haag, Belanda. Menyibak dinginnya pagi, mereka berduyun untuk menyaksikan sebuah pengadilan. Bukan pengadilan biasa. Di gedung yang kini jadi ruang dosen sebuah universitas itu, selama empat hari berturut, 10-13 November, digelar Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal (IPT) 1965.

Sebuah ikhtiar untuk menyingkap kabut gelap kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi 50 tahun silam di sebuah negeri, Indonesia.

Selama empat hari, kehangatan dalam ruang pengadilan bekas gereja bergaya arsitektur gotik itu berkelindan dengan kisah-kisah gelap mengenai kejahatan kemanusiaan terhadap anggota dan orang yang dituding sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia pasca 1965.

Kisah horor mulai dari pembunuhan massal, perbudakan di Pulau Buru hingga propaganda kebencian, dituturkan para saksi yang terdiri dari korban, peneliti dan akademisi asal Indonesia.

Di hari pertama, pengadilan membahas tentang pembantaian massal dan perbudakan di Pulau Buru. Hari kedua, tentang penahanan, penyiksaan, dan kekerasan seksual. Hari ketiga, tentang pengasingan atau eksil, penghilangan paksa, dan propaganda kebencian. Hari keempat, tentang keterlibatan negara lain.

Indonesia didudukkan sebagai terdakwa dan dianggap bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan yang menimpa para anggota PKI, dan orang-orang yang dituding sebagai simpatisan, termasuk keluarganya.

Jelas ada semburat kekhawatiran di sana. Demi alasan keselamatan, sebagian saksi bertutur dari balik tirai hitam setinggi sekitar tiga meter yang dibentangkan tepat di sebelah kanan deretan belakang meja para hakim.

Bukan tanpa sebab tim IPT 1965 yang dikoordinatori Nursyahbani Katjasungkana memboyong dokumen setebal 1200 halaman berisi temuan dan kesaksian korban 65 itu ke Pengadilan Rakyat di Negeri Kincir Angin. Dan, menjadikan Indonesia duduk sebagai terdakwa.

Keengganan Pemerintah Indonesia untuk serius mengusut demi mencari kebenaran dan keadilan jadi penyebab. Sudah tujuh presiden selama 17 tahun berlalu pasca lengsernya Presiden Soeharto di tahun 1998, Pemerintah Indonesia hingga kini tidak pernah mau mengakui adanya pembantaian massal (genosida) sistematis dan kejahatan kemanusiaan terhadap mereka yang dituduh komunis pasca 65.

Seperti dituturkan Profesor Asvi Warman Adam saat berbicara di persidangan sebagai saksi ahli untuk dakwaan perbudakan.

Membuka kesaksiannya dengan penegasan bahwa apa yang disampaikannya bukan untuk menjelek-jelekkan Pemerintah Indonesia, Asvi mengatakan apa yang terjadi di Pulau Buru merupakan kasus pelanggaran HAM berat paling jelas dan paling konkret.

Pertama, ucap Asvi, kasus Pulau Buru korbannya sangat jelas lebih dari 10 ribu orang. Bahkan menurut satu sumber, kata dia, sepanjang 1969-1979, ada lebih dari 11.600 orang yang dibuang ke pulau seluas 2,5 kali Pulau Bali itu. Selain jumlah korban dan lokasi yang sudah sangat jelas, tutur Asvi, pelakunya pun sudah sangat jelas.

“Ini (pembentukan Instalasi Rehabilitasi Pulau Buru) merupakan perintah dari Panglima Kopkamtib (Soeharto),” ujar dia.

Bentuk perbudakan nyata yang dilakukan militer kepada para tahanan, ujar Asvi, adalah dengan keharusan mereka untuk melapor. “Pulau Buru merupakan tempat terisolasi. Jadi, kamp ini merupakan contoh sempurna dan konkret atas perbudakan dan penahanan sebagai hasil dari tragedi 1965,” kata dia.

Kata Asvi, apa yang disampaikannya merupakan hasil penelitian dari sebuah lembaga resmi, Komnas HAM pada tahun 2003. “Tahun itu saya menjadi anggota tim pengkajian pelanggaran ham berat soeharto yang dibentuk Komnas HAM,” kata peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.

Artikel ini ditulis oleh: