HL Buku: BOCAH KEBON DARI DELI
HL Buku: BOCAH KEBON DARI DELI

Jakarta, Aktual.com – Ini kisah nyata. Mulai tahun 1914. Di Pekalongan, Jawa Tengah. Sukargam masih muda belia. Beliau anak keturunan seorang ulama besar di sana. Namanya Kiyai Saryan. Konon, merupakan anak keturunan dari laskar Pangeran Diponegoro kala Perang Jawa (1925-1930) lalu. Pasca sang Pangeran ditangkap Hindia Belanda, sisa laskarnya melipir ke berbagai daerah. Termasuk daerah Pekalongan, Slawi, Tegal dan lainnya. Di sanalah Ki Saryan berada.

Beliau memiliki Sembilan orang anak. Salah satunya bernama Sukargam. Masa mudanya, dia seorang saudagar. Berdagang batik Pekalongan, dijual ke Singapura, Palembang, dan kemudian hinggap di Deli, Sumatera Utara. Tapi semenjak itu Sukargam tak pernah kembali ke kampungnya. Sejak tahun 1914 lalu itu. Dia meninggalkan sanak keluarganya di sana. Kisaran tahun 1950-an, terjadi ‘sanering’ (pemotongan uang) oleh pemerintah RI. Dikenal dengan istilah “gunting Syafruddin”. Uang dikurangi nilainya. Alhasil berdampak usaha Sukargam gulung tikar. Dari situlah dia tak pernah kembali ke Pekalongan.

Di Medan, Sukargam memiliki 9 orang anak. Salah satunya Ema Sofia. Inilah istri dari Prof.Dr. Supandi, SH, M.Hum. Ema ini anak nomor enam. Dia dinikahi Supandi di Medan, dengan peristiwa yang tak terduga. Jodoh mempertemukan mereka. Supandi pun akrab dengan mertuanya. Dia melihat mertuanya itu sudah lama tak kembali ke kampung halamannya.

Waktu berjalan, Supandi bekerja di Perhubungan Udara. Dia hilir mudik dengan pesawat karena urusan kerja. Disitu dia meniatkan untuk menelusuri kampung halaman mertuanya di Pekalongan. Supandi mendapat cerita, asal muasal Pak Kargam di daerah Kedunguni, Pekalongan. Dari Jakarta, dia pun naik bus ke Semarang. Lalu menyambung ke Pekalongan. Sampai disana, dia pun bertanya-tanya tentang rumah adik Pak Kargam. Namanya Mbah Kusen.

Di Pekalongan, Mbah Kusen sangat familiar. Dikenal banyak orang. Karena memang dikenal sebagai orang yang sakti. Maklum, leluhurnya adalah laskar pasukan Diponegoro yang dikenal alim dan sakti. Dengan susah payah, Supandi berhasil bertemu rumah Mbah Kusen. Dialog pun terjadi.

“Assalamuallaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawab sesosok paruh baya dari dalam rumah.

“Apa benar ini rumahnya Mbah Kusen?” tanya Supandi.

“Sampeyan siapa?” tanya orang tua itu. Ternyata dia adalah Mbah Kusen langsung.

“Saya menantunya Pak Sukargam dari Medan, dia bercerita bahwa abangnya masih tinggal disini,” jawab Supandi.

“Wah, adikku itu sudah mati,” jawabnya.

“Tidak Pak. Beliau masih hidup kok,” Supandi menerangkan.

“Ah, tidak percaya saya,” katanya ketus.

Saya pun menunjukkan foto yang dibawanya sejak dari Medan. Selembar foto itu diambilnya, diamatinya pelan-pelan. Dia pun menangis seketika. Hatinya sedih dan terharu. Mulanya Mbah Kusen ini menganggap Supandi ini mau menipu. Karena tidak dikenalnya sama sekali, lalu menghampiri rumah orang. Yak maklum saja, namanya juga baru bertemu.

“Lho, adikku masih hidup toh?” katanya pelan. Dia terus memegangi gambar itu. Dipanggilnya adiknya yang lain. Namanya Mbah Soleh.

“Jadi Bang Kargam masih hidup?” katanya terharu. Matanya basah air mata.

“Iya Pak, beliau masih hidup, dia ada di Medan,” jawab Supandi.

Itulah pertemuan pertama Supandi berjumpa dengan keluarga mertuanya di Pekalongan. Supandi pun kembali ke Jakarta. Lalu terbang ke Medan. Sampai sana, memberi kabar pada mertuanya, tentang dua adiknya itu. Sukargam terharu.

Lalu tiba ketika ulang tahun ke-100 Sukargam. Maklum, umurnya sudah renta. Supandi hendak memberi hadiah istimewa. Membawanya pulang kampung ke Pekalongan. Tapi Sukargam sudah sakit-sakitan. Berjalan tiga langkah saja, napasnya sudah ngos-ngosan. Secara logika, tidak mungkin membawa Pak Kargam dari Deli ke Pekalongan dengan pesawat. Tapi Pak Kargam penuh semangat. Dia bertekad ingin pulang kampung.

Sebulan kemudian, rencana pun dijalankan. Obat-obatan disiapkan. Menjaga takut kesehatan Pak Kargam drop seketika. Dari Medan, mereka berangkat ke Jakarta. Mendarat di bandara Kemayoran, Jakarta.  Lalu menyambung kereta api menuju Pekalongan. Anehnya, badan Pak Kargam sehat walafiat. Tak ada sakit-sakitan. Itulah karena semangatnya. Sudah 67 tahun tak pulang kampung. Obat dari dokter, sama sekali tak tersentuh.

Sampai di Pekalongan, mereka tiba. Menyewa dokar menuju Kedunguni. Akhirnya sampai juga di rumah abang Pak Kargam. Di rumah Mbah Kusen tadi.

“Assalamuallaikum,” kata Supandi.

Ternyata Mbah Kusen lagi duduk di ruang tamunya. Dia langsung melihat. Dia terperangah melihat adiknya, Sukargam.

“Lho, Kargam….!!!” katanya histeris.

Langsung abang Pak Kargam memeluknya. Mereka seolah seperti tidak karuan tingkahnya. Seperti anak kecil, padahal mereka sudah tua-tua semuanya. Itu menunjukkan rasa bahagia yang sangat. Tidak bisa diuraikan dengan kata-kata. Mereka ngobrol sepanjang hari. Pak Kargam bertemu lagi dengan abangnya, setelah 70 tahun lebih tak bertemu.

“Sukargam bali…Sukargam bali…(Sukargam pulang…Sukargam pulang….),” Mbah Kusen teriak-teriak kegirangan di rumahnya. Mereka gembira sekali. Orang-orang di sekitar rumah itu pun mendadak berkumpul. Mereka melihat dan menyaksikan pertemuan kembali dengan Pak Kargam, setelah sekian tahun tak bertemu.

Tak lama kemudian, adiknya datang. Mbah Soleh. Mereka langsung naik ke tempat tidur. Jadilah satu tempat tidur diisi tiga orang. Mereka saling berpelukan. Saling menangis terharu karena bisa bertemu lagi. Mereka mengobrol hingga larut malam. Pak Kargam usianya telah 100 tahun.

Hampir dua pekan Pak Kargam tinggal di sana. Dia dibawa ke Slawi juga. Ke Batang juga, menziarahi makam ayahnya, Kiyai Saryan. Mereka temu kangen. Kegembiraan sangat terasa. Suasana tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Semua yang melihat dan menyaksikan kembali Pak Kargam, langsung terisak tangis. Tanda kesedihan dan kegembiraan.

Temu kangen pun dua pekan lebih. Tapi masalah kemudian datang. Supandi hendak kembali ke Medan. Tapi Sukargam tak diijinkan turut ke Medan. Mereka minta di Pekalongan saja. Negosiasi pun terjadi.

“Waduh kalau Bapak tidak saya bawa pulang ke Medan, nanti saya yang dimarahi sama anak-anaknya,” kata Supandi memelas.

Mereka mulanya tak mengijinkan. Karena kerinduan seolah belum berbalas. Mereka ingin Pak Kargam menetap saja di Pekalongan bersama mereka. Alhasil Pak Kargam diijinkan kembali ke Medan.

Setelah pertemuan dengan adiknya itu, enam bulan kemudian,  Mbah Kusen pun meninggal dunia.  Berikutnya, persis enam bulan kemudian adiknya yang meninggal dunia. Dan enam bulan kemudian Pak Kargam yang meninggal dunia. Jadi seperti sudah suratan takdir dari Allah Subhanahuwataala, mereka bisa dipertemukan kembali. Tapi syukur alhamdulillah, obor persaudaraan antara keluarga di Deli dan Slawi, Tegal dan Pekalongan telah tersambung kembali. Karena sebelumnya seperti terputus puluhan tahun. Inilah suratan takdir dari Allah Subhanahuwataala.

Inilah keseruan dalam buku “Bocah Kebon Dari Deli”. Buku biografi Prof. Dr. Supandi, SH, M.Hum. Seorang Ketua Muda bidang Tata Usaha Negara (TUN) Mahkamah Agung. Beliau anak kebon yang kemudian berhasil menjadi Hakim Agung dan menjabat sebagai Tuada TUN. Lika liku hidupnya bak kisah sinetron. Penuh liku tapi syarat pesan makna kehidupan. Membaca buku ini, memahami bagaimana “Takdir” bekerja.

Prof Supandi bersama istrinya Ibu Ema Sofia yang merupakan anak ke-6 dari Pak Kargam
Prof Supandi bersama istrinya Ibu Ema Sofia yang merupakan anak ke-6 dari Pak Kargam