Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, bersama stafnya Sunny Tanuwidjaja, tampil bersaksi di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Senin (25/7/2016). Ahok dan Sunny bersaksi untuk terdakwa mantan Presiden Direktur Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro, dalam kasus suap terkait rancangan peraturan daerah (Raperda).

Jakarta, Aktual.com – Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai keliru tafsiran Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, tentang pembayaran di awal untuk tambahan kontribusi pengembang reklamasi teluk Jakarta.

Menurut Jaksa KPK, rujukan Ahok yakni Pasal 12 dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995, tidak dapat diartikan sebagai dasar hukum untuk meminta pengembang reklamasi membayar tambahan kontribusi.

“Justru yang menarik itu adalah ketika kontribusi dibayar di awal. Dia kan mendasari Pasal 12. Tetapi apa yang disampaikan dalam pasal 12 itu keliru. Pasal 12 itu bukan masalah kontribusi, tapi pembiayaan reklamasi. Pembiayaan itu oleh Pemda dan swasta,” papar Jaksa KPK, Ali Fikri, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (25/7) malam.

Hal ini tentunya menjadi bahan pihak KPK untuk mengkaji tafsiran tersebut. Yang terpenting, dalam persidangan Ahok sudah mengakui bahwasanya beberapa pengembang telah membayar tambahan kontribusi tersebut di awal, sebelum raperda tentang reklamasi disahkan DPRD DKI.

“Ini kan tafsirannya seolah masalah kontribusi dan yang lainnya. Yang penting sudah titik, bahwa betul ada pembayaran di awal. Itu kan jadi fakta sidang, mengenai apakah dapat dibenarkan secara hukum, itu nanti dikaji lagi,” jelas Jaksa Ali.

Dalam persidangan mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, Ahok dengan gamblang menyatakan kalau pembayaran tambahan kontribusi di awal adalah tafsirannya.

Ini dilakukan Ahok dengan merujuk pada Keppres Nomor 52 Tahun 95, serta perjanjian kerjasama antara Pemprov DKI dengan PT Manggala Krida Yudha pada 1997.

“Ada dalam Pasal-nya, untuk mengembangkan reklamasi dengan maksud pengembangan kawasan dan menata daratan. Kalau menata daratan harus ada uangnya. Ini tafsirannya Pak (Jaksa), ini dasar hukumnya,” tutur Ahok, di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Dalam Keppres Nomor 52 Tahun 1995. Dimana pada konsiderans Menimbang berbunyi, ‘bahwa untuk mewujudkann fungsi Kawasan Pantura Jakarta sebagai kawasan andalan, diperlukan upaya penataan dan pengembangan Kawasan Pantura melalui reklamasi Panntura sekaligus menata ruang daratan pantai yang ada secara terarah dan terpadu’.

Yang kemudian, dilanjutkan pada Pasal 12 dengan bunyi, ‘segala biaya yang diperlukan bagi penyelenggaraan Reklamasi Pantura dilakukan secara mandiri oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta bekerjasama dengan swasta, masyarakat dan sumber-sumber lain yang sah menurut aturan perundang-undangan yang berlaku’.

Hal inilah ditafsirkan oleh Ahok, yang kemudian dikukuhkan dalam perjanjian kerja sama antara beberapa pengembang, termasuk Agung Podomoro pada 18 Maret 2014, lewat pertemuan di kantor Wagub DKI.

Artikel ini ditulis oleh: