(ilustrasi/aktual.com)

Soal bendera terbalik itu, saya kira merupakan insiden diplomatik yang harus ditangani segera. Supaya tidak akan mengarah pada konfrontasi dengan Malaysia seperti pada 1963-1965. Namun justru karena pengalaman kesejarahan inilah, soal bndera terbalik memang bisa jadi sensitif. Bahkan bisa menjadi faktor pemantik konflik yang lebih berskala regional dikemudian hari.

Namun kita juga harus ingat, kejadian konfrontasi dengan Malaysia dulu, jauh lebih ideologis dan strategis dari sudut pandang politik luar negeri kita saat itu yang anti kolonialisme dan imperialisme.

Sehingga konfrontasi dengan Malaysia sejatinya  terkait dengan ketidaksetujuan kita secara prinsipil mengenai berdirinya Negara Federasi Malaysia yang kita pandang sebagai negara boneka Inggris untuk mengepung Indonesia. Dan saya kira memang itu benar adanya.

Dalam kasus ini, Ganis Harsono, mantan Wakil Menlu dan Jurubicara Departemen Luar Negeri 1958-1965, menggambarkan konfrontasi Malaysia sejatinya antara Jakarta versus Singapura, bukan antara Jakarta versus Kuala Lumpur.

Di balik strategi Konfrontasi RI-Malaysia, memang terkandung di dalamnya persoalan krusial orang-orang Cina yang mukim di Singapura dan waktu itu masih tergabung dalam federasi Malaysia.

Menurut Ganis Harsono dalam memoarnya Cakrawala Politik Era Sukarno, sejarah masa silam menunjukkan bahwa pemerintah kolonial Belanda telah menyerahkan supremasi ekonomi kepada Singapura sebagai jajahan Inggris. Pemerintah jajahan Belanda terpaksa menerima kenyataan bahwa bagian dari Sumatra yang terkenal dengan Kepulauan Riau, langsung berada di bawah pengaruh ekonomi Singapura. Maka, di balik konfrontasi RI-Malaysia sejatinya merupakan konflik RI-Singapura.

Pesisir Sumatra sebelah timur mulai dari Belawan, Deli sampai ke Selat Panjang sejak di zaman Belanda berada dalam pengaruh jajahan Inggris.

Dengan demikian, konfrontasi dengan Malaysia sesungguhnya bertumpu pada misi membebaskan Sumatra dari kungkungan pengaruh Inggris lewat Federasi Malaysia. Maka tak heran, justru di tengah-tengah memanasnya hubungan RI-Malaysia antara 1963-1964, Bung Karno malah membangun tim ekonomi yang hampir seluruhnya orang Sumatra. Seperti Dasaad, Hasyim Ning, TD Pardede, Bram Tambunan, Yusuf Muda Dalam, Potan Harahap, Markam, dan satu-satunya yang bukan Sumatra, Ashlam yang berasal dari Makasar.

Strategi Sukarno membebaskan Sumatra dari kungkungan Singapura bisa disimak dalam pidatonya di depan para pengusaha asal Sumatra berikut ini : “Lebih dari Lima puluh persen kekayaan Singapura berasal dari kerja yang saudara-saudara lakukan. Saudara-saudara membarter barang-barang dengan Singapura dan dengan itu gedung-gedung pencakar langit bermunculan di negeri itu bak cendawan tumbuh. Dan apa imbalannya yang saudara peroleh? Barang-barang plastik murahan, transistor-transistor tak bernilai, dan arloji-arloji main-mainanan.

Selamjutnya BK menyerukan : “Hentikan perdagangan barteran dengan Singapura, dan bergabunglah dalam kesatuan-kesatuan ekonomi yang kuat untuk memajukan daerah saudara-saudara, dan untuk membuat Belawan-Deli menjadi pelabuhan yang terbesar di Asia Tenggara.”

Inilah latarbelakang di balik tema GANYANG MALAYSIA yang dilancarkan Presiden Sukarno sejak 1963. Suatu skema perang melawan Inggris yang berada di balik berdirinya Federasi Malaysia yang mana Singapura yang mayoritas berpenduduk Cina masih bergabung bersama Malaysia. Sehingga dengan skema inilah kemudian Presiden Filipina Macapagal tertarik ikut masuk arena, sehingga menghasilkan Deklarasi Manila antara RI, Malaysia dan Filipina dalam kernagka Konsepsi Maphilindo pada 5 Agustus 1963.  Gagasannya adalah untuk menjalin kerjasama regional tanpa campur tangan negara-negara besar. Sehingga tercipta zona netral di Asia Tenggara.

Konsepsi Maphilindo yang diprakarsai RI-Malaysia-Filipina ini telah bikin gusar AS dan Inggris. Karena dalam klausul deklrasi Manila menegaskan bahwa basis-basis militer yang ada di Asia Tenggara bersifat sementara. Dan tidak boleh digunakan secara langsung atau tidak langsung, untuk menodai kemerdekaan nasional dari masing-masing ketiga negara tersebut.

Selain Inggris dan AS, Lee Kua Yew yang waktu itu merupakan pemimpin utama Singapura, secara lantang mengatakan bahwa Maphilindo sejatinya digunakan untuk mengepung Singapura. Lucunya, pemerintah RRC yang berhaluan komunis dan waktu itu pendukung utama Partai Komunis Indonesia (PKI), malah mengecam konsepsi Maphilindo sebagai proyek Neokolonialisme

Kalau kita telisik cerita silam ini, maka terlihat bahwa meskipun negara-negara blok Barat seperti AS dan Inggris yang berhaluan kapitalisme maupun RRC yang pro komunis , seakan terlibat dalam persekongkolan senyap menentang skema Maphilindo RI-Malaysia dan Filipina yang notabene sangat didasari semangat anti kolonialisme dan imperialisme baik dari barat maupun timur. Sehingga feed back menarik yang bisa kita lihat, blok barat dan timur justru bersatu dan senada mengecam Maphilindo.

Lantas bagaimana memaknai ketegangan RI-Malaysia sekarang? Kali Ini memang hanya soal bendera terbalik. Sensirtif pastinya, sebab meski hanya masalah simbolik, soal merah putih mewakili alam bawah sadar bangsa kita sejak berabad-abad silam. Merah Putih merupakan jiwa bangsa.

Ketika hal ini tidak ditangani semestinya sebagai insiden diplomatik, bisa saja jadi casus beli pemantik ke arah konfrontasi lagi seperti dulu.

Dan ketika itu terjadi, tema sudah berkembang tidak lagi sekadar soal bendera merah putih. Luka lama sejarah kedua bangsa serumpun ini, bisa mencuat kembali. Dan ironisnya, justru dijembatani oleh persoalan yang sesungguhnya bersifat simbolik. Soal bendera kebangsaan.

Padahal konfrontasi Malaysia-Indonesia antara 1963-1964, justru jauh lebih mendasar. Bahwa kita tidak setuju berdirinya Malaysia sebagai negara bangsa.

Pemerintah Jokowi-JK harus secepatnya menyadari bahwa jika gegara ini akan memicu lagi Konfrontasi RI-Malaysia, maka yang rugi bukan kedua negara serumpun ini saja. Kekompakan antar negara-negara ASEAN pun akan terganggu.

AS dan sekutu-sekutu Eropa Barat maupun Cina, sama-sama memandang Asia Tenggara dan negara-negara ASEAN, sebagai arena Proxy. Maka, kepentingan mereka adalah agar ASEAN terpecah-belah. Dan kondisi dalam negeri masing-masing negara ASEAN, mengalami pelemahan sistem kenegaraan.

Akankah persenyawaan hegemoni AS-Uni Eropa-Cina akan terulang kembali ? Kalau dulu konfrontasi Malaysia berujung pada kejatuhan pemerintahan Sukarno sebagai hasil konspirasi senyap AS-Inggris dan komunis Cina, mungkinkah kasus bendera terbalik kita akan memantik ketegangan baru RI versus Malaysia yang dimainkan oleh kekuatan-kekuatan global yang sama pada 1963-1965?

Sudah seharusnya kita waspada, jangan sampai RI-Malaysia jadi alat Proxy War negara-negara Adikuasa. Baik dari Timur maupun Barat.

Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.