Ketika sistem demokrasi multi-partai serta sistem pemilihan presiden secara langsung diterapkan sejak era reformasi pada 1999, ternyata mengakibatkan terjadinya paradoks demokrasi. Betapa demokrasi yang berlangsung saat ini, hanya menghasilkan kompromi elit politik, dan sama sekali tidak melibatkan aspirasi dan hajat hidup orang banyak.

Dengan makna lain, sistem muti-partai dan sistem pemilihan presiden secara langsung yang berada dalan bingkai demokrasi, pada gilirannya telah menjelma menjadi demokrasi procedural dan cenderung bersifat oligarki. Artinya demokrasi hanya dinikmati para elit politik partai, para pengusaha/pelaku bisnis, dan aparat birokrasi baik di tingkat pusat maupun daerah.

Di sinilah kemudian secara dialektis muncul gagasan berbasis populisme, yang mana rakyat menuntut dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Sebab melalui demokrasi prosedural seperti sekarang ini, aspirasi dan hajatan rakyat banyak justru secara sistematis dan terencana dibendung untuk menyalurkan aspirasinya.

Lebih celaka lagi, ketika dalam paham populisme tersebut terkandung pandangan bahwa pemilu dan demokrasi tidak ada gunanya bagi masyarakat dan orang banyak. Sebab demokrasi prosedural seperti itu tidak mungkin akan lahir para pemimpin yang berbasis kerakyatan. Dan karenanya tidak akan melahirkan kekuasaan negara yang akan menyejahterakan rakyat.

Dalam pandangan populisme, rakyat memandang para elitĀ  yang dikendalikan oleh oligarki partai, cenderung berkhianat kepada rakyat dan korup. Padahal ketika proses pemilu, baik elit oligarki partai maupun elit yang ikut dalam kontestasi pemilu presiden, berlomba-lomba meminta dukungan suara dari rakyat.

Di sinilah secara dialektis populisme muncul dan diharapkan sebagai solusi mengatasi kebuntuan demokrasi, seraya berharap agar dapat menyelesaikan masalah-masalah kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakat.

Banyak kalangan khawatir populisme berpotensi membahayakan kelangsungan hidup demokrasi. Namun bagaimana solusi untuk mengatasi jalan buntu demokrasi saat ini? Marilah kita menengok sejenak ke luar. Kemenangan Donald Trump pada pilpres AS tahun lalu, dipandang sebagai fenomena bangkitnya populisme. Tentu saja pada kenyataannya bisa kita perdebatkan.

Namun, kemunculan Trump yang tak terduga di tengah optimisme bakal menangnya Hillary Clinton dari Partai Demokrat, hendaknya menggugah kesadara kita betapa populisme pada tingkatan tertentu, berguna untuk menginspirasi munculnya sosok baru, dan gelombang baru perubahan, untuk melakukan koreksi total terhadap sistem demokrasi yang saat ini sudah menjurus ke sekadar demokrasi prosedural, dan didominasi oleh elit-elit oligarki partai.

Kebangkrutan kapitalisme global yang ditandai dengan hancurnya :Lehman Brothers (2008) di AS, Deutsche Bank Jerman (2016) yang selama ini merupakan soko guru para pelaku bisnis Yahudi, berlarut-larutnya Krisis Suriah yang menjurus ke jalan buntu sejak 2011 hingga sekarang, serta gelombang pengungsi Irak ke berbagai negara di Eropa, telah dipandang sebagai wujud dari gagalnya globalisasi.

Inilah yang kemudian menjelaskan mengapa populisme marak belakangan ini di Eropa dan Amerika. Antara lain denganĀ  kemenangan Trump pada pilpres AS 2016 lalu.

Bagi kita di Indonesia, kita justru harus menyerap inspirasi dari populisme, khususnya dalam mengondisikan kemunculan para pemimpin baru yang lebih berbasis kerakyatan. Para pemimpin yang punya akar dukungan yang kuat di masyarakat, sosok pemimpin yang selain kharismatik dan berwibawa, juga berjiwa nasionalis. Atau yang sering juga disebut berjiwa populis. Serta kritis dan punya komitmen kuat untuk melawan secara skematik skema Negara Korporasi yang tujuan akhirnya adalah menghancurkan skema negara bangsa.

Para pemimpin yang dijiwai populisme, berarti sensitif dan peka terhadap suara aspiras arus bawah, Dengan makna lain, populisme sejatinya bisa menginspirasi bangkitnya kembali nasionalisme di sektor ekonomi dan kedaulatan di bidang politik. Bahkan hidupnya kembali kepribadian nasional kita sebagai bangsa.

Maka, tren global ke arah menguatnya populisme di tengah kebangkrutan demokrasi liberal dan ekonomi pasar bebas, sebenarnya patut kita sambut sebagai momentum untuk membuat perubahan. Untuk menggugat kembali skema kapitalisme global yang berbasis korporasi, seraya mengondisikan kemunculan para pemimpin baru yang di luar pakem demokrasi liberal seperti yang selama ini berlangsung.

Bukan itu saja. Populisme bisa menjadi sumber inspirasi munculnya gerakan yang menginginkan pemerintah secara langsung berhubungan dengan rakyat tanpa peran penghubung dari lembaga-lembaga politik yang selama ini tidak aspiratif. Apalagi ketika rakyat saat ini tidak punya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik yang ada.

Jadi, tidak perlu takut pada tren kebangkitan populisme di pelbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Sebab hal itu menandakan bahwa demokrasi liberal dan praktek ekonomi pasar bebas mengalami kegagalan dan kebangkrutan. Sehingga perlu ada suatu gelombang baru perubahan, serta kemunculan sosok-sosok baru di luar pakem demokrasi prosedural yang berlangsung saat ini.

Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.