Warga menggunakan hak pilih di TPS yang menggunakan bus untuk bilik suara pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Solo di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 7 Tegalmulyo, Nusukan, Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Rabu (9/12). Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Tegalmulyo memanfaatkan bus pariwisata sebagai bilik suara untuk menarik minat warga setempat berpartisipasi dan menggunakan hak pilih pada pilkada serentak di Solo. ANTARA FOTO/Maulana Surya/ama/15.

Palu, Aktual.com – Dr Darwis, pengamat politik dan dosen FISIP Untad menyinggung menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam menyuarakan hak pilihnya. Menurut dia, hal itu lebih pada persoalan individu figur.

Selain itu kata dia, juga adanya kejenuhan masyarakat, karena yang selalu tampil adalah figure yang sama, tidak ada sirkulasi poitik yang melahirkan seorang pemimpin yang betul-betul ingin berjuang dan memiliki sifat negarawan.

Oleh karena itu, partai dan elit politik kita perlu mengintropeksi diri bahwa sebaiknya perlu membangun etika politik yang semakin bagus, ini juga berkaitan dengan system pengkaderan di tingkat partai.

“Saya kira kaderisasi sangat penting, namun etika politiklah yang paling penting. Elit politik yang bercokol di partai harus merekonstruksi kembali etika politik itu mencari figur yang memang layak dijual dan bermoral, menjunjung tinggi etika politik tanpa melihat ada uang atau tidak. Partai harus legowo mencari figur yang mengakar tanpa melihat adanya ‘Mahar’,” katanya, Selasa (15/12).

Sistem mahar itulah kata dia yang menggerus kualitas demokrasi. Ada orang yang memiliki ketokohan tapi tidak miliki uang, maka tidak dipilih.

Selanjutnya, bagaimana melahirkan sistem desentralisasi politik, tidak mesti DPP partai di tingkat pusat yang menentukan calon siapa saja yang diusung. Karena yang ada saat ini siapa yang bermitra menjadi kewenangan DPP untuk menentukan, hanya karena persoalan mahar politik itu.

“Ini juga yang membuat masyakat kecewa dan menurunkan partisipasi itu, juga membuat konflik internal partai di tingkat bawah,” katanya.

Intinya kata dia, kurangnya partsipasi adalah sebuah sikap politik masyarakat itu sendiri.

“Dan kita tidak bisa menyalahkan masyarakat, justru ini menjadi instrospeksi pemerintah, elit politik kita harus betul-betul menggerus politik pragmatis yang notabene melahirkan politik transaksional dan melahirkan pemimpin yang tidak amanah,” imbuhnya.

Artikel ini ditulis oleh: