Sejumlah Haul Truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Sabtu (19/9). PT Freeport Indonesia kini mendapat izin ekspor untuk Juli 2015 - Januari 2016 dengan kuota ekspor mencapai 775.000 ton konsentrat tembaga. Selain itu Freeport mendapat pengurangan bea keluar menjadi lima persen lantaran kemajuan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di Gresik, Jawa Timur, yang sudah mencapai 11 persen. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/kye/15

Jakarta, Aktual.com – Jika PT Freeport Indonesia tetap ngotot memaksa berpegangan pada Kontrak Karya, Indonesia layangkan saja gugatan ke arbitase Internasional.

Pendapat itu disampaikan mantan Dirjen Minerba dan Panas Bumi Kementrian ESDM Simon F Sembiring. Pasalnya dia mengaku sudah muak dengan keberadaan Freeport yang terkesan diistimewakan pemerintah. Padahal, ujar dia, tidak sedikit peraturan yang ditabrak Freeport terkait ketentuan perundang-undangan.

Menurutnya, Kontrak Karya yang menjadi rujukan kerja sama Freeport dan Indonesia, harusnya disesuaikan dengan Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Mengingat kedudukan legalitas kontrak karya berada jauh di bawah Undang-Undang.

Karena pertimbangan itu, ujar Simon, sangat wajar jika Indonesia melayangkan gugatan ke tingkat hukum arbitrase internasional kalau Freeport ‘ngotot’. Sebab keberadaan Freeport selama ini telah mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam Indonesia.

“Kalau begini bawa saja ini ke arbitrase, negara tidak usah takut. Dalam pasal 23 ayat 2 kerja sama antarpihak disebutkan jelas bahwa perusahaan akan tunduk dan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku dari waktu ke waktu,” ujar Simon dalam diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (21/11).

Lanjut Simon, Freeport wajib tunduk pada UU Minerba yang pada dasarnya mengharuskan setiap kerja sama investasi mengedepankan kepentingan nasional. Dan negara, ujar dia, lebih berhak mendapat penguasaan lebih banyak ketimbang perusahaan itu sendiri.

Dia menambahkan, seriap negara punya hak mendapatkan divestasi saham setidaknya 51 persen terhadap perusahaan asing manapun. Meski terkait Freeport ini Kementerian Keuangan kerap berdalih tidak punya modal untuk membeli saham Freeport.

Freeport sudah selayaknya tidak mendapat perlakuan khusus agar keadilan dapat ditegakkan. “Dan itu sudah dilaksanakan ke perusahaan-perusahaan asing termasuk Newmont,” tegas Simon.

Artikel ini ditulis oleh: