Jakarta, Aktual.com — Buntut dari perlakuan Detasemen Khusus 88 yang menyebabkan kematian tidak wajar terduga teroris, Siyono (33 tahun) beberapa waktu lalu, menuai kecaman dari berbagai pihak.

“Tindakan aparat (Densus 88) yang menyebabkan kematian Siyono itu sebenarnya lebih jahat dari tindak kejahatan yang dilakukan korban itu sendiri (dugaan terorisme), karena aparat penegak hukum punya aturan hukum, bertindak atas nama negara, mengerti bahwa tindakan itu melawan hukum,” ujar Pakar Hukum Pidana, Muzakir, kepada Aktual.com.

Dirinnya mengingatkan Densus dalam kasus ini harus fair. Jika memang bersalah harus bersedia meminta maaf kepada masyarakat Indonesia, khususnya keluarga korban. Namun, dengan tidak mengenampingkan unsur penganiayaan yang telah dilakukan oknum Densus tersebut.

“Kasus ini tidak boleh ditutup-tutupi. Kita memaklumi human error itu pasti ada, tapi copot dong anggota yang menganiaya itu, bersihkan dari Densus 88. juga bagi si terduga teroris harus dicari kebenarannya, apa benar terkait teroris atau tidak,” terangnya.

Jika hal serupa terus dibiarkan, lanjutnya, dikhawatirkan akan membawa proses penegakan hukum negeri ini kembali ke zaman orde baru, dimana penculikan-penculikan aktivis kerap terjadi tanpa adanya transparansi.

Kekhawatiran ini didasarkan fakta yang dibeberkan KontraS yang mengungkap bahwa terdapat 121 orang yang baru terduga teroris dinyatakan meninggal begitu saja tanpa menjalani proses hukum.

Kesalahan dalam penggunaan wewenang jika terus ditoleransi akan membengkak menjadi kesalahan yang lebih besar, menghasilkan kekerasan berikutnya yang lebih ekstrim. Ketika tindakan menggunakan wewenang justru mengakibatkan matinya orang, maka menjadi sebuah tindakan pidana yang berdiri sendiri.

Dalam sebuah kinerja, sambung dia, tidak boleh ada tumbal manusia walaupun hal yang diperangi adalah terorisme yang menjadi musuh bersama.

“Jangan seperti Amerika, salah ngebom pesawat Iran lalu dibikin rekayasa pembelaan sedemikian rupa,” sindirnya.

Sesungguhnya, hal yang menjadi masalah adalah eksistensi terorisme sendiri merupakan dampak dari kegagalan penyelenggaraan negara dibidang keamanan. Untuk itu, dia mengungkapkan ketidaksepakatannya dengan rencana revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

“Mengapa UU-nya diperluas terus? dengan UU keamanan negara yang ada sebenarnya sudah cukup, tapi jika semakin banyaknya teroris, kekuasaan dan kewenangannya diperluas, teori tersebut sebenarnya tidak ada. Mencegah dengan menambah wewenang itu tidak boleh,” paparnya.

Menurutnya, kemampuan Densus 88 dalam mengangani kasus terorisme harus kembali dievaluasi. Jika terdapat anggota yang dinilai tidak mampu maka harus diganti dengan yang lain, bukan dengan mengganti atau menambah Undang-undangnya.

Dalam teori eskalasi, kejadian ini justru akan memperkuat terorisme itu sendiri. Artinya, para pelaku terorisme akan berbuat kekerasan lebih kuat lagi sehingga yang akan menjadi korban lagi-lagi rakyat.

Dengan demikian, penanganan dan reaksi terhadap terorisme harus dilakukan secara profesional agar para pelaku teroris tidak meningkatkan eskalasi mereka.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Nelson Nafis