Jakarta, Aktual.com – Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menilai presiden tidak menandatangani sejumlah undang-undang, seperti terakhir dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU, merupakan bentuk politik pencitraan.

“Sudah ada sekitar 8 undang-undang yang tidak ditandatangani presiden karena mempertimbangkan ada keributan dan keramaian jadi presiden tidak teken. Jadi seolah-olah ini maunya DPR, kira-kira begitu. Jadi politik ini. Ini persoalan politik pencitraan,” ujar anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 2019-2024 itu dalam sebuah diskusi daring bertajuk “Mengukur Kebijakan Pembentukan UU dari Sisi Etika dan Moral”, Senin (6/7).

Menurut dia, sejak pemilihan umum dilakukan secara langsung, politisi menjadi pragmatis dan melakukan praktik politik pencitraan.

Selain politik pencitraan, Jimly mempersoalkan etika tidak ditekennya undang-undang oleh presiden lantaran undang-undang itu merupakan hasil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.

“Masa perppu datang dari pemerintah, lalu diajukan ke DPR, DPR-nya setuju, malah tidak ditandatangani,” kata Jimly Asshiddiqie.

Ia mengatakan pembentukan undang-undang memiliki prosedur hukum serta prosedur etik. Etik disebutnya lebih luas, meski etika dan hukum tidak dapat ditempatkan mana yang lebih tinggi.

Terkait Undang-Undang Penanganan COVID-19, Jimly mempersoalkan di saat masyarakat menghadapi pandemik dan tidak dilibatkan untuk dimintai pendapat, tiba-tiba Perppu Penanganan COVID-19 diketok dan kemudian disahkan menjadi undang-undang.

Ke depan ia menekankan fenomena undang-undang tidak ditekan tidak boleh berlanjut dan mengusulkan format undang-undang diperbaiki. (Antara)