Jumhur Hidayat (ist)

Jakarta, Aktual.com – Tokoh gerakan rakyat Jumhur Hidayat menyatakan bahwa Proklamasi Indonesia merupakan suatu keajaiban. Indonesia terdiri dari ribuan pulau, etnik dan bahasa, akan tetapi mampu bersatu dalam kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berbeda misalnya dengan bangsa-bangsa di daratan Afrika Utara dan Amerika Latin. Negara yang sama-sama pernah dijajah oleh negara lain, akan tetapi mereka merdeka sendiri-sendiri menjadi puluhan negara.

“Indonesia terdiri dari ribuan pulau, 700 lebih etnik grup dan 360-an bahasa, dipisahkan oleh lautan, tapi 17 Agustus 1945 menyatakan merdeka bersama-sama yaitu Republik Indonesia,” kata Jumhur dalam orasi politik perayaan 1 Tahun Partai Priboemi di Kirana Ballroom Hotel, Kartika Candra, Rabu (17/8) malam.

HUT ke-1 Partai Priboemi sekaligus peringatan HUT RI ke-71 mengambil tema ‘Priboemi Adalah Kita. Ayo Bangkit Menjadi Tuan di Negeri Sendiri!’. Hadir dalam acara tersebut beberapa tokoh gerakan, diantaranya Ratna Sarumpaet, Ahmad Mubarok, Habib Novel, Eki Pitung dan beberapa tokoh gerakan lainnya.

“Kita berterimakasih saat ini Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke akibat kebesaran jiwa kaum pribumi di daerah-daerah yakni para pemimpin dan pemangku adat yang sesungguhnya sudah berkuasa dan berpemerintahan,” kata Jumhur.

Disampaikan dia, pada awal Kemerdekaan RI ada ungkapan ‘Satu untuk Semua, Semua untuk Satu’ yang artinya semua suku-suku bangsa merelakan ikut dalam negara proklamasi menjadi satu Indonesia.

Akan tetapi, Jumhur merasa miris dengan kondisi kebangsaan Indonesia saat ini. Sebab Satu Indonesia sekarang tidak lagi untuk semua suku, tapi Indonesia telah memberikan kekayaan dan kemampuannya untuk Amerika, Inggris,Tiongkok, Jepang, Korea dan lain-lain.

Akibatnya, rakyat Indonesia yang tersebar di berbagai daerah yang berjasa menjadikan Indonesia merdeka malah terpinggirkan dan tersuruk dalam kemiskinan. Ironisnya, ketika ada yang nyatakan pribumi harus bangkit akan dituduh rasis. Padahal, perjuangan golongan dibenarkan dalam konstitusi, seperti dulu ada Partai Tionghoa, Partai Arab Indonesia dll.

“Sekarang kita harus memperjuangkan diri kita karena kita sudah tidak lagi jadi tuan di negeri sendiri. Saudara-saudara berkumpul merasa senasib, seolah menjadi warga Aborigin, suku asli di Australia yang secara sistematik dihancurkan,” katanya.

“Terjadi Aboriginisasi kaum pribumi di Indonesia, dan semua karpet merah dibentangkan untuk asing. Tidak ada kata tidak, Aboriginisasi kaum pribumi harus dilawan!,” sambung Jumhur dihadapan Ketua Umum Muhardi dan Sekjen Heikal.

Mantan Kepala BNP2TKI itu menyinggung kebijakan datangnya tenaga kerja asing (TKA) Tiongkok yang tidak menguntungkan secara ekonomis. Dalam analisanya, pekerja Tiongkok tersebut mempunyai misi besar untuk mengkolonisasi. Hal ini seperti terlihat dalam kasus reklamasi Jakarta untuk tempat tinggal 1,5 juta orang yang sudah mulai dipasarkan di Tiongkok, kasus enclave Walini di Jabar, di Papua, Kalimantan, Sulawesi dll.

“Pada saatnya nanti kita akan jadi satelitnya negeri Tiongkok. Kita sedang disiasati oleh banyak negara karena keluguan, kebodohan dan kesalahan kita khususnya para pemimpin, dan korbannya adalah kaum pribumi,” katanya.

“Tahun 98 katanya terjadi kerusuhan etnis dengan tingkat ketimpangan 0,308. Outputnya kaum pribumi jadi terdakwa karena dituduh rasis, brutal dan tak tahu diri. Saat ini ketimpangan sosial sudah 0,41 dan di beberapa tempat sudah 0,45. Banyak revolusi terjadi di indeks ketimpangan 0,4,” sambung Jumhur.

Anehnya, sejak ’98 sampai hari ini tak ada koreksi atas ketimpangan atau pemerataan pendapatan dan kesempatan. Jumhur berpesan, Partai Priboemi harus memastikan tak ada setetespun darah warga non pribumi tumpah.

“Ini tugas besar kita dan Partai Priboemi tak boleh rasis. Kata pribumi harus jadi kata sifat, siapa yang berjuang memajukan rakyat miskin dan yang tersingkirkan itulah jiwa pribumi,” tuturnya.

Apabila kelak berkuasa, Jumhur mengingatkan agar Partai Priboemi mengeluarkan kebijakan yang pro rakyat kecil agar ke depan mereka sejahtera dan bermartabat. Bagaimanapun, ironi negara maritim tapi mayoritas nelayannya miskin, atau negara agraris tapi mayoritas petaninya hidup miskin, harus dihilangkan.

 

*Sumitro

Artikel ini ditulis oleh: