Ilustrasi

Jakarta, aktual.com – Aku bermimpi. Di dalam mimpiku itu datang seorang tua bertanya padaku, “Apa yang membuat seorang hamba dekat kepada Allah ?” Aku menjawab, “Hal tersebut memiliki Permulaan dan Akhiran. Maka permulaan untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah sifat Wara’. Dan ujungnya ialah ridha dengan Allah, berserah diri kepada jalan-Nya dan tawakkal penuh kepada-Nya.”

Ini menunjukkan bahwa mimpi dalam khazanah tasawuf atau tarekat itu mempunyai peran, sebagaimana Anas bin Malik menyampaikan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

الرُّؤْيَا الْحَسَنَةُ مِنَ الرَّجُلِ الصَّالِحِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ

“Mimpi yang baik dari orang yang sholeh adalah 1 dari 46 bagian kenabian,” (HR. Bukhari 6582 dalam Fathu al-Bari 12/379).

Banyak mimpi menghampiri individu yang melakukan perbuatan dosa sebagai jalan untuk bertaubat. Oleh karena itu, disarankan untuk senantiasa dalam keadaan suci dengan melakukan wudhu sebelum tidur atau dalam keadaan terjaga. Dengan demikian, ketika mengalami mimpi tersebut, dapat dianggap sebagai petunjuk atau panduan dari Allah.

Sebagian orang menyatakan bahwa mimpi berada di antara dunia nyata (Alam Mulki) dan dunia gaib (Alam Malakut).

Dengan demikian, awal dari mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) dimulai dengan sikap hati-hati (Wara’), menjauhi segala bentuk keraguan dan perbuatan terlarang, serta melaksanakan ketaatan. Hal ini dapat membawa hamba tersebut mencapai derajat tertinggi dalam mendekatkan diri kepada Allah, yaitu mencapai keadaan ridho (Haalatur Ridho).

Wara’ dapat diartikan sebagai menjaga hati, jiwa, akal, dan perilaku seseorang dari arah yang tidak sesuai dengan orientasi kepada Allah, serta menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak disenangi oleh-Nya.

Ridho, pada dasarnya, adalah keadaan di mana hati senantiasa merasa bahagia meskipun harus menghadapi ketetapan-ketetapan yang sulit dari Allah. Analoginya adalah seperti obat yang memiliki rasa pahit, karena banyak orang yang melihat kesulitan dalam ketetapan tersebut dari sudut pandang nafsu mereka. Oleh karena itu, untuk melawan hal tersebut, seseorang dapat mencapai ridho dengan menerima segala ketetapan Allah dengan lapang dada.

Agar senantiasa mendapatkan perlindungan dan perhatian dari Allah, langkah yang dapat diambil adalah dengan memperbaiki niat setiap hari dalam semua aktivitas, sehingga segala tindakan yang dilakukan memiliki nilai ibadah kepada Allah dan memberikan manfaat bagi orang lain.

“Banyak orang sekarang melakukan hijrah instan (tidak ada kematangan dalam jiwa, akal dan prilaku) yang hasilnya tidak maksimal sebab tidak mendapatkan bimbingan seorang guru yang menjelaskan hakikat hijrah. Makanya banyak Ikhwah yang berguguran itu sebab ingin mendapat hasil lompatan yang tinggi, tetapi saya (Khadim Zawiyah) tidak perduli, mau ada yang ngaji atau tidak,” kata KH. M. Danial Nafis.

Sifat Taslim dapat dijelaskan sebagai keadaan di mana seseorang tetap teguh dan menerima segala cobaan yang Allah berikan, meskipun bala bencana turun dan menyebabkan perubahan dalam derajat, kondisi lahir dan batin, serta keadaan ekonominya.

Tawakkal, pada dasarnya, adalah keteguhan hati seseorang terhadap apa yang Allah berikan kepadanya, tanpa berharap kepada bantuan atau rezeki yang berasal dari manusia.

“Ada konsep menjaga diri sendiri dan menjaga orang lain. Janganlah menjaga dirimu yang mengakibatkan orang lain merasa tidak enak. Jangan sampai apa yang kalian jaga/proteksi lingkungan dan komunitasmu dengan menyalahkan golongan yang tidak sesuai dengan paham komunitasmu, seperti yang dilakukan oleh LDII,” lanjutnya.

Dalam memahami agama, penting untuk mengajarkan Ma’rifatullah wa Rasulih (pengetahuan tentang Allah dan Rasul-Nya), yang dapat diaplikasikan melalui pengucapan dua kalimat syahadat.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Rizky Zulkarnain

Tinggalkan Balasan