Jakarta, Aktual.com — Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya membentuk tim eksekutor untuk mengeksekusi Yayasan Supersemar sekitar Rp 4,4 triliun. Hal tersebut dilakukan setelah korps Adhiyaksa mengantongi Surat Kuasa Khusus (SKK) dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Sudah dibentuk, sudah. Artinya, substitusi dari jaksa sudah turun ke Jamdatun (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara). Sudah dibentuk timnya, saya di antaranya,” kata Jaksa Agung Muda Tata Usaha Negara (Jamdatun) Noor Rochmad di Kejagung, Jakarta, Jumat (23/10).

Selanjutnya, tim ini akan memproses permohonan eksekusi putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) atas perkara Yayasan Soeharto tersebut. Karena pembentukannya baru beberapa waktu lalu, maka belum semua anggota tim menandatangani pengangkatannya.

“Ini kan baru sampai kemarin, tentukan perlu tanda tangan semua. Semua yang terlibat di tim itu tanda tangan, setelah itu, baru kita action,” katanya.

Namun Noor Rachmat mengaku tidak ingat berapa jumlah anggota tim tersebut. Ia hanya mengatakan, jumlahnya cukup banyak. “Banyak, (jumlahnya) aduh lupa saya,” ujarnya.

Saat wartawan menyinggu target tim dalam mengeksekusi PK MA atas Yayasan Beasiswa Supersemar, Noor Rachmat mengatakan, “Kalau target-targetan sih enggak. Yang jelas, kita menyukseskan pelaksanaan eksekusi PK tersebut,” kata dia.

Putusan PK MA berawal ketika Presiden Soeharto menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1976 yang menentukan bank negara harus menyetor 50 persen dari 5 persen sisa laba bersihnya ke Yayasan Supersemar. Sejak tahun 1976 hingga Soeharto lengser, Yayasan Supersemar mengantongi dana sejumlah US$ 420,000 dan Rp 185 miliar.

Namun, terjadi penyelewengan dana untuk membiayai pendidikan rakyat Indonesia itu, sehingga setelah Soeharto “tumbang”, Kejagung mewakili negara menggugat Yayasan Beasiswa Supersemar yang diketuai Soeharto atas dugaan melakukan perbuatan melawan hukum.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada 27 Maret 2008 silam, mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Beasiswa Supersemar membayar ganti kerugian kepada negara sejumlah US$ 105 juta dan Rp 46 milyar. Kemudian, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, pada 19 Februari 2009, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

MA semakin menguatkan vonis tersebut dan menghukum Yayasan Supersemar membayar kepada penggugat 75 persen x US$ 420, 000 atau setara dengan US$ 315,000, dan 75% x Rp 185.918.904, hingga totalnya hanya Rp 139.229.178.

Namun terjadi kesalahan pengetikan, sehingga kerugian yang harus dibayar menjadi Rp 185.918.904 dari seharusnya Rp 185 miliar. Adapun majelis hakim yang mengetok vonis kasasi pada 28 Oktober 2010, itu terdiri dari Hakim Agung Harifin Tumpa dibantu Hakim Anggota Rehngena Purba, dan Dirwoto.

Akibatnya, jaksa tidak bisa mengeksekusi putusan ini dan mengajukan langkah hukum Peninjauan Kembali (PK) ke MA pada September 2013. Di saat yang sama, Yayasan Supersemar juga turut mengajukan PK.

“Mengabulkan PK I (Negara Repubilk Indonesia), menolak PK II (Yayasan Supersemar),” demikian seperti dilansir website MA, Senin (10/8). Wakil Ketua MA bidang Nonyudisial, Hakim Agung Suwardi dengan Anggota Majelis Soltony Mohdally, dan Mahdi Soroinda Nasution memutuskan dengan nilai perkara sangat besar ini, 8 Juli 2015.

Sesuai kurs pada hari Senin (10/8), keluarga Soeharto dan ahli warisnya harus memberikan ganti rugi kepada negara sejumlah Rp 4.309.200.000.000 plus Rp 139 milyar, sehingga totalnya menjadi sekitar Rp 4,4 triliun.

Sementara itu untuk diketahui, nasib para pihak ketiga, yang diduga sebagai pihak yang menikmati uang hasil pungutan keuntungan badan usaha milik negara (BUMN) sampai kini belum tersentuh.

Mereka, terdiri PT Bank Duta yang mendapat kucuran sebesar 420 juta dolar AS, PT Sempati Air sebesar Rp 13, 173 miliar, PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti sebesar Rp 150 miliar dan para pihak lain

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu