Jakarta, Aktual.com — Sepak terjang Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memberi izin Proyek Reklamasi Pulau di Teluk Jakarta kepada anak perusahaan PT Agung Podomoro, yaitu PT Muara Wisesa Samudera, mengingatkan saya pada Jan Pieter Zoen Coen, Gubernur Jenderal Belanda pertama di Batavia (Jakarta) pada awal abad ke-17.

Yang menyamakan dua kejadian ini adalah, betapa kemudian membuka ruang yang seluas-luasnya untuk masyarakat “China Perantauan” (Overseas China) semakin menguatkan basis ekonomi dan sosial-budayanya di kawasan Jakarta dan sekitarnya.

Sebagaimana kegusaran berbagai kalangan terhadap kebijakan Ahok memberikan izin untuk Proyek Reklamasi Teluk Jakarta, langkah ini pada perkembangannya akan dijadikan “pintu masuk” untuk membangun 17 pulau buatan, sebagai landasan untuk mengembangkan sebuah mega proyek yang bernama Giant Sea Wall.

Kekhawatiran kian merebak ketika mega proyek mengindikasikan adanya keterlibatan para Taipan yang dikenal dengan julukan “9 Naga” untuk menguasa kawasan Jakarta dan sekitarnya secara geopolitik.

Karena itu, marilah kita buka kembali mata rantai sejarah keterlibatan Tiongkok di kawasan ini, yang sepertinya sudah dimulai sejak awal abad ke-17. Kalau sekarang kita kerap mendengar sepak-terjang Ciputra, Edward Suryajaya, Anthony Salim, Eka Cipta Wijaya, Budi dan Michael Hartono, Hartati Murdaya Po, namun pada awal abad ke-17 rasa-rasanya kita masih asing dengan sosok bernama So Bing Kong.

Padahal, selain dia ini merupakan leluhur para konglomerat Tiongkok yang sekarang ini kaya raya di Indonesia, So Bing Kong merupakan sosok yang membangun pondasi ekonomi dan sosial-budaya masyarakat Tionghoa di kawasan Jakarta dan sekitarnya.

Ketika itu, Jan Pieter Zoen Coen, Gubernur Jenderal Belanda pertama di Batavia (sekarang Jakarta), punya rencana akbar untuk menggelar kerja pembangunan kota Batavia. Maka, Gubernur Jenderal Coen mengajak kelompok masyarakat Tionghoa sebagai “mitra kerja” penguasa dalam mega proyek tersebut. Alhasil, kelompok “China Rantau” di Batavia ini kemudian menjadi mitra kerja (kontraktor tunggal) andalan pemerintahan kolonial Belanda di Batavia.

Bukan itu saja. So Bing Kong, kemudian diberi kedudukan sebagai Kapitan, yang mengepalai orang-orang Tionghoa yang didudukkan dalam Bank Van Scheppen (Dewan Para Hakim). Sebuah posisi kunci bagi Bing Kong dan sekaligus posisi yang mudah dikontrol oleh Gubernur Jenderal Coen.

Singkat cerita, melalui peran Bing Kong, warga masyarakat Tionghoa dikerahkan untuk membantu obsesi-obsesi Coen membangun Batavia. Melalui kontrol terkendali dan terstruktur ini, Coen dengan leluasa melakukan kerjasama di berbagai pekerjaan pembangunan Batavia dengan para pekerja ahli yang didominasi orang-orang Tionghoa. Termasuk melakukan upaya pengembangan usaha perdagangan di Batavia. Mulai dari perdagangan hasil bumi, bisnis candu, hingga pengelolaan rumah-rumah judi dan pemungutan pajak retribusi bagi perahu-perahu yang melewati kanal-kanal tertentu di Batavia.

Tak pelak lagi, bibit-bibit penguasaan orang-orang Tionghoa sebagai kekuatan ekonomi yang strategis sudah mulai tertanam, yang mungkin tak terbayangkan oleh Coen, bahwa tiga abad kemudian di abad ke 21 sekarang ini, bukan saja para konglomerat Tionghoa merajai perekonomian nasional kita, bahkan salah satu warga Tionghoa, berhasil menduduki jabatan sebagai Gubernur.

Kedigdayaan warga “China Rantau” di Batavia memang sudah terlihat ketika berbagai arsip yang sudah berhasil diakses oleh para sejarawan membuktikan bahwa warga “China Rantau” ini merupakan pembayar pajak yang pertama. Hoofgeld (pajak kepala) yang jumlahnya cukup besar, hingga tahun 1630 telah menyumbangkan separuh pendapatan bagi kota Batavia.

Dana besar yang dikekola Kompeni Belanda dan meningkatnya kemakmuran materi Batavia, selanjutnya menarik lebih banyak orang dari Tiongkok mengalir berdatangan. Kalau pada 1619 tercatat baru sekitar 400 penduduk, maka pada 1628 telah melonjak menjadi 3000.

Inilah success story Coen membangun Batavia dengan berkongsi bersama Bing Kong, Ketua Masyarakat Tionghoa di Batavia. Bahkan, sejak fase inilah, kolusi pemerintahan kolonial Belanda dan para pengusaha “China Rantau” di Batavia mulai terajut. Bahkan di era Gubernur Jenderal Jaques Speck, pengganti Coen, keluar kebijakan bahwa para pejabat militer atas dasar pertimbangan untuk meningkatkan penghasilan sampingan, kemudian diciptakan suatu bentuk kerjasama dengan para pengusaha Tionghoa yang kemudian mengarah pada upaya saling menguntungkan “kantong” kedua belah pihak.

Bisa dibayangkan, betapa segala urusan dan seluk-beluk perekonomian kemudian diserahkan sepenuhnya kepada para pengusaha Tionghoa. Bahkan termasuk dalam pengelolaan pemungutan pajak dan usaha perdagangan lainnya. Seperti saya katakan tadi, orang Tionghoa kemudian menjadi kontraktor tunggal.

Dengan langkah ini, pihak pemerintah kolonial Belanda di Batavia hanya menerima pembagian hasil keuntungan yang didapat dari laporan pihak pengusaha Tionghoa. Dan angka inilah yang dilaporkan ke pemerintah pusat di Belanda. Padahal nyatanya, angka yang dilaporkan telah diolah sedemikian rupa(secara fiktif dan manipulatif) sehingga menyisakan pemasukan bagi kantong-kantong pribadi para pejabat di Batavia.
Inilah cikal bakal kolusi pengusaha dan penguasa. Yang pada perkembangannya kemudian, hal ini bukan sekadar sebuah praktik yang sifatnya accidental, melainkan lambat-laun jadi sistem.

Betapa tidak. Melalui kolusi yang menyejahterakan para oknum pejabat Batavia ini, orang-orang Tionghoa semakin dipelihara, disayang dan bahkan dihormati sebagai warga istimewa Batavia.

Sehingga sebagai sistem hal ini terus berlanjut di era pasca Bing Kong. Tiga kapiten setelah Bing Kong, adalah Lim Lacco, Phoa Bingan dan Goansi Kwa. Mereka semua turut duduk di Majelis terhormat Bank Van Scheppen untuk mewakili bangsa mereka.

Para kapiten Tionghoa ini memiliki kekuasaan terhadap wilayah-wilayah tertentu dan kian memantapkan posisinya sebagai perpanjangan tangan penguasa Batavia (Belanda).
Sejak JP Coen hingga jelang pertengahan abad ke 18, keterlibatan masyarakat Tionghoa dalam program pembangunan Batavia menjadi agresif. Sehingga kolusi penguasa (Belanda) dan pengusaha (Tiongkok) tumbuh subur jadi landasan bangunan budaya perdagangan di tanah Jawa.

Suburnya kolusi dimungkinkan karena para pejabat Belanda dalam kondisi minim pendapatan. Sebagai Maskapai Dagang Belanda(VOC), mereka hanya menerima uang pas-pasan. Sehingga dalam usaha meningkatkan pendapatan pribadi, mereka terpaksa membina hubungan kerja dengan para pedagang Tionghoa.

Dalam kasus pengelolaan jalur transportasi (tol) sungai Ciliwung, Gubernur Jenderal Speck sengaja menunjuk sepenuhnya pengusaha swasta Tionghoa (via Bing Kong) untuk bertindak sebagai pengelola tunggal.

Untuk itu pihak pengusaha Tionghoa dikenakan wajib setor secara resmi masuk pada kas pemerintahannya. Para pejabat tinggi pemerintah Belanda di Batavia juga menerima semacam upeti sebagai imbalan jasa penunjukan pengusaha Tionghoa sebagai kontraktor tunggal.

Alhasil, berlawanan dengan harapan semula, pihak kolonial Belanda untuk menggandeng Tionghoa dengan keyakinan akan bisa mengontrolnya, justru sebaliknya. Karena setelah itu, justru ekonomi-lah yang jadi panglima.

Maka, justru di sinilah bahayanya, ketika kemudian ada upaya untuk menegakkan kembali politik sebagai panglima. Karena dengan begitu, masyarakat Tionghoa kemudian menjadi korban.

Hal ini terlihat ketika Gubernur Jenderal Belanda selanjutnya, Jenderal Volkeneir, melakukan aksi pembersihan terhadap masyarakat Tionghoa di Batavia(ethnic cleansing). Dalam aksi pembersihan sekitar 1740 ribuan orang Tionghoa sengaja dibantai di sebuah kolam yang terletak di belakang Stadhuis (Balai Kota) atas perintah hakim yang merupakan perpanjangan tangan dari Gubernur Jenderal Volkeneir. Bahkan Kapiten Ni Hoe Kong ikut ditangkap, karena diduga terlibat dalam gerakan melawan kompeni.

Namun begitu, adanya ethnic cleansing itu tetap saja membuat bisnis di tanah Jawa tidak berubah. Tionghoa tetap menjadi penggerak perekonomian di pulau Jawa, meskipun berganti aktor.

Maka itu, indikasi adanya kongkalingkong Ahok dan para Taipan yang tergabung dalam Naga 9, sudah saatnya dibaca bukan sekadar sebatas sentiment anti Tiongkok. Namun harus diarahkan untuk mematikan sistem yang menumbuh-suburkan kolusi semacam ini.

Agaknya, selama mediator antara kepentingan penguasa dan kepentingan penguasaan pasar diperlukan, maka selama itu pula peranan kelompok pedagang Tionghoa selalu diperlukan. Sehingga akan selalu muncul So Bing Kong-So Bing Kong baru. Lim Lacco-Lim Lacco baru, Phoa Bingan-Phoa Bingan baru, dan Goa siKwa – Goa siKwa baru.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Hendrajit