Jakarta, Aktual.com – Ahli hukum administrasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Mailinda Eka Yuniza, mengatakan tugas seorang asisten deputi (asdep) adalah membantu atasannya, seperti memimpin rapat. Namun, asdep dalam rapat itu, tidak dapat mengambil keputusan.

“Dia (asdep) tidak bisa mengambil keputusan rapat, tidak bisa mengambil kebijakan. Dia hanya bisa membuka dan mendengar rapat. Tanggungjawab hukumnya ada pada deputi, bukan seorang asdep,” jelas Mailinda Eka, dalam kesaksiannya di depan majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (13/12).

Penjelasan tersebut disampaikan dalam sidang yang dipimpin oleh Diah Siti Basariah, dengan terdakwa Upik Rosalina Wasrin dalam kasus cetak sawah kementerian BUMN di Ketapang.

Menurut Mailinda dalam teori kewenangan, kembali kepada yang memberikan wewenang. Ketika terjadi kesalahan, maka yang akan bertanggungjawab hukum adalah atasannya. “Asdep hanya memiliki kewenangan teknis, seperti membuat nota dinas, namun tidak bisa mengambil keputusan atau kebijakan,” jelasnya.

Sesuai dengan struktur di kementerian, posisi asdep di bawah deputi, di atasnya masih ada menteri.

Selanjutnya, saksi menjelaskan dalam hukum administrasi negara tugas seorang asdep disebutkan hanya membantu deputi. Sifatnya sangat general, tidak spesifik. Maka kalau tugasnya mengambil keputusan, maka yang punya kewenangan adalah deputi. Asisten deputi hanya memiliki kewenangan teknis. Untuk kebijakan atau keputusanya deputi atau Menteri.

Terkait dengan program kementerian BUMN, dalam hukum adminitrasi negara, tugas kementerian BUMN adalah melakukan koordinasi, penajaman, pembinaan program pemerintah. Itu yang dimaksud “tertentu” dari kementerian BUMN. “Maka ketika ada program dari menteri memerintahkan kepada BUMN untuk melakukan tugas tertentu sudah sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena peran dan tugas BUMN selain mencari keuntungan adalah menjalankan PSO. PSO bisa jadi tidak menguntungkan, namun demi kemaslahatan umum harus dijalankan,” jelas saksi ahli.

Dalam menjalankan kebijakan, seorang menteri bisa saja mengeluarkan diskresi. Menurut ahli, diskresi adalah keputusan yang diambil karena ada masalah yang harus dipecahkan, sementara aturan tidak jelas mengatur hal tersebut. Namun dalam pelaksanaan diskresi, ketika dalam pelaksanaan kebijakan, jika terjadi masalah hukum adalah menteri. “Sebenarnya ada UU mengenai Diskresi yakni UU No. 30 tahun 2014. Namun jika diskresi dikeluarkan sebelum UU tersebut, maka diskresi belum ada aturannya,” pungkas Mailinda.

 

Wisnu

Artikel ini ditulis oleh: