Ratusan nelayan dari berbagai wilayah melakukan aksi penolakan Reklamasi Teluk Jakarta, di Pelabuhan Muara Angke dan di Pulau G, Jakarta Utara, Minggu (17/4/2016). Dalam aksinya mereka menuntut agar seluruh proyek reklamasi di teluk Jakarta dihentikan dan Keppres No. 52 Tahun 1995 dan Perpres 54 Tahun 2008 yang melegitimasi proyek reklamasi dicabut.

Jakarta, Aktual.com – Mencuatnya kasus korupsi e-KTP diduga untuk mengalihkan perhatian masyarakat atas pelaksanaan Reklamasi Teluk Jakarta yang disinyalir terjadi praktik korupsi. Demikian disampaikan dosen hukum pidana asal Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda.

“Jadi kalau dikatakan bahwa e-KTP adalah upaya pengalihan isu korupsi, bisa jadi begitu, besar kemungkinannya,” ujarnya kepada Aktual, Rabu (5/5).

Menurutnya, pelaksanaan reklamasi sendiri memang rentan terhadap praktik korupsi. Apalagi, dana pembangunan 17 pulau buatan di kawasan Teluk Jakarta murni berasal dari pihak swasta atau pengembang.

Chairul menyatakan bahwa alokasi dana pembangunan suatu daerah sejatinya harus melalui APBD yang harus dibahas pemerintah daerah bersama dengan DPRD. Dana yang berasal swasta tanpa melalui pembahasan dengan DPRD, lanjutnya, merupakan sebuah pelanggaran hukum.

“Karena enggak boleh ada dana non budgeter yang dikelola pemerintah daerah dan berasal dari swasta, enggak boleh itu. Semua dana apakah itu pendapatan daerah, apakah hal yg lain, itu harus masuk melalui kas daerah dan dikeluarkan melalui APBD,” jelasnya.

Pihak swasta sendiri merupakan pihak yang cenderung mengutamakan keuntungan dibandingkan kepentingan publik. Oleh karenanya, Chairul mencurigai adanya kesepakatan tertentu antara pihak Pemprov DKI Jakarta dengan pihak pengembang reklamasi.

“Kan tidak ada makan siang gratis di dunia ini, semua ini kan ada hitung-hitungnnya,” ucapnya.

Hal inilah yang menjadi sebuah indikasi adanya tindakan korupsi dalam mega proyek ini. Dan menurutnya, KPK cenderung mengarahkan perhatian publik kepada kasus e-KTP di tengah beberapa kasus besar lain yang justru mangkrak dan mandek di tengah jalan penyelidikannya.

“Nah ini yang menurut saya menunjukkan kalau penanganan kasus e-KTP juga seperti kasus-kasus lain yang sebenarnya punya unsur politis yang sangat kuat, tapi justru tidak diteruskan penyidikannya,” tutupnya.

(Teuku Wildan)

Artikel ini ditulis oleh: