Tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri melakukan penggeledahan di salah satu rumah tersangka teroris di Indramayu, Jawa Barat, Selasa (26/1). Dalam penggeledahan di kedua rumah tersangka teroris AH dan WF, Tim Densus 88 menemukan barang bukti milik tersangka yang diduga terkait dengan bom Thamrin. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/aww/16.

Jakarta, Aktual.com — Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, menilai autopsi ulang terhadap jenazah Siyono menjadi pukulan telak bagi profesionalisme Detasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri. Kasus ini sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi Polri.

“Selama ini sudah banyak keluhan publik terhadap perilaku Densus 88 yang cenderung menjadi eksekutor tapi tidak pernah ada evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Densus. Kasus Siyono menjadi titik awal keberanian publik untuk menggugat kinerja Densus,” kata Neta.

Melalui keterangan tertulisnya, Kamis (14/4), IPW sepakat bahwa terorisme harus diberantas. Akan tetapi siapapun tidak boleh bertindak sewenang-wenang atas nama pemberantasan terorisme. Apalagi tugas utama polisi adalah melumpuhkan tersangka dan bukan menjadi algojo.

“IPW memberi apresiasi pada Komnas HAM dan PP Muhammadiyah yang sudah melakukan autopsi ulang pada jenazah Siyono yang tewas setelah ditangkap Densus,” ujarnya.

Diakuinya, hasil autopsi jenazah Siyono di RS Polri tidak bisa dibandingkan ‘apple to apple’ dengan yang dilakukan Tim Forensik Muhammadiyah. Sebab ada perbedaan waktu dan jenis pemeriksaan jenazah.

Polri melakukan pemeriksaan luar dan CT Scan Jenazah, sedangkan Muhammadiyah melakukan autopsi lengkap ketika jenazah sudah dikuburkan beberapa minggu. Setidaknya, ada dua pelajaran berharga yang bisa diambil.

Pertama, setiap korban tewas akibat kekerasan, baik akibat tindak pidana maupun akibat tindakan kepolisian, wajib dilakukan autopsi lengkap yakni pemeriksaan luar dan dalam. Sesuai
KUHAP, meski terdapat penolakan yang dapat dianggap menghalangi proses penyidikan. Dengan begitu, diperoleh hasil valid untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hukum.

Kedua, pemeriksaan autopsi lengkap secara konvensional masih merupakan ‘Gold Standard’ dalam pembuktian sebuah tindak pidana dibandingkan dengan PMCT yang sementara ini hanya dapat dikategorikan sebagai pemeriksaan pendukung.

“Semua pihak harus berjiwa besar menyikapi kasus Siyono. Untuk itu, setelah autopsi ulang Komnas HAM harus memprakarsai penyidikan independen terhadap kematian Siyono,” jelasnya.

“Jika ada polisi yang bersalah dan melanggar prosedur harus diproses secara hukum di pengadilan. Sebaliknya jika polisi sudah bertindak sesuai prosedur, Komnas HAM harus menjelaskannya secara terbuka,” sambung Neta.

Artikel ini ditulis oleh: