Neraca Perdagangan Defisit.

Tingginya impor dan lemahnya ekspor menyebabkan neraca perdagangan pada triwulan II 2018 defisit USD 1,02 miliar. Untuk pertama kalinya sejak 2014, peranan neraca perdagangan menjadi faktor yang mereduksi pertumbuhan ekonomi di periode ini, dimana pangsanya 0,52 persen. Padahal pada triwulan I 2018, neraca perdagangan masih berperan positif bagi pertumbuhan ekonomi (0,33 persen).

Sebagai catatan, defisitnya transaksi ini terjadi kendati pergerakan ekspor masih tumbuh 7,7 persen (yoy). Lebih parah ternyata angka itu jika dibandingkan triwulan I 2018 justru mengalami penurunan sebesar 0,89 persen, sementara impor tetap meningkat 0,48 persen (q to q). Perlahan tapi pasti, peranan ekspor terhadap PDB juga semakin luntur. Pada 2015 ekspor masih berperan 21,16 persen terhadap PDB, namun pada triwulan II menyusut menjadi 20,35 persen. Sebagai pembanding, ekspor Thailand dan Malaysia berkontribusi lebih dari 70 persen terhadap PDB, sedangkan di Vietnam mencapai 93 persen.

“Daya saing ekspor merosot. Daya saing merupakan salah satu kunci untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan. Namun hingga saat ini sektor produksi belum mampu menunjukkan kemampuannya dalam persaingan di pasar global, bahkan kian sulit bersaing di pasar domestik,” jelas Ahmad.

Adapun pangsa ekspor Indonesia terhadap total ekspor dunia kian menurun. Pada 2013, pangsa ekspor Indonesia terhadap total ekspor dunia mencapai lebih dari 1 persen, namun pada 2017 pangsanya menyusut menjadi 0,9 persen. Sepanjang 2013-2016, pangsa ekspor Vietnam terhadap ekspor dunia naik dari 0,7 persen menjadi 1,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pangsa pasar ekspor Indonesia telah “direbut” oleh negara kompetitor, artinya produk-produk domestik masih sulit melakukan penetrasi di pasar global.

“Peningkatan belanja pemerintah hingga 2 kali lebih tinggi dari triwulan I 2018 tidak menunjukkan fungsinya sebagai stimulus untuk menggerakkan sektor produksi. Hal ini terlihat dari melambatnya investasi (PMTB) dan industri pengolahan yang kemudian berdampak terhadap menurunnya ekspor dibandingkan triwulan I,” tutur dia.

Karena itu, dia mensinyalir penetrasi produk impor kian merajalela dan membuat Indonesia menjauh dari kemandirian dan kedaulatan. Sepanjang semester 1 tahun 2018, impor barang konsumsi telah tumbuh melebihi impor bahan baku, yakni sebesar 21,64 persen, sementara impor bahan baku tumbuh 21,54 persen. Jauh dari pada itu, akibat defisit transaksi berjalan yang kian melebar akan mempengaruhi nilai tukar rupiah dan menggerus cadangan devisa.

“Perlahan tapi pasti, porsi impor barang konsumsi telah semakin melebar. Pada 2013, porsi impor barang konsumsi masih 7 persen, namun saat ini telah mencapai 9,2 persen,” pungkasnya.

Baca selanjutnya: Pintu Masuk Taipan

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Dadangsah Dapunta