Jakarta, aktual.com – Komisi XI DPR RI mengingatkan pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan cukai, khususnya terhadap produk rokok.
Kenaikan tarif cukai yang tinggi dinilai berisiko menekan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah dan menimbulkan efek domino terhadap stabilitas penerimaan negara.
Ketua Komisi XI DPR RI, M. Misbakhun, menekankan pentingnya keseimbangan dalam kebijakan fiskal terkait cukai.
“Penting untuk merumuskan kebijakan cukai yang berimbang agar tidak mendorong pergeseran konsumsi ke produk-produk yang tidak tercatat atau tidak berkontribusi terhadap penerimaan negara,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (9/6/2025).
Ia menambahkan, data di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas konsumen rokok dengan harga terjangkau berada pada kelompok pendapatan sekitar UMR atau bahkan di bawahnya.
Produk rokok dengan harga Rp13.000-Rp15.000 per bungkus masih menjadi pilihan utama, sementara kenaikan tarif cukai dapat mendorong harga jual menjadi di kisaran Rp20.000 per bungkus atau lebih.
Misbakhun menekankan bahwa pabrik rokok skala menengah memiliki peran vital dalam menopang ekonomi lokal.
Tak hanya menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang, industri ini juga menghidupkan berbagai sektor terkait, seperti petani, pedagang kecil, distributor, dan pekerja informal lainnya dalam ekosistem industri hasil tembakau.
“Kita tidak bisa mengabaikan dampak strukturalnya. Jika kebijakan yang diterapkan terlalu menekan pabrikan menengah, bisa muncul efek domino seperti penurunan serapan tenaga kerja dan terganggunya perputaran ekonomi lokal. Ini tentu tidak sejalan dengan Visi Asta Cita Presiden Prabowo,” tutur Misbakhun.
Dia juga menyoroti potensi dominasi perusahaan besar dalam industri rokok jika kebijakan hanya menguntungkan pelaku usaha bermodal besar dan berbasis otomatisasi.
Sementara pabrik kecil dan menengah yang cenderung padat karya akan menghadapi tantangan besar dalam bertahan.
Berdasarkan data dari Asosiasi Industri Rokok, sekitar 70 persen produksi rokok nasional saat ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar, sementara pelaku industri kecil dan menengah hanya mendapat porsi pasar yang relatif kecil.
“Jika konsentrasi pasar terus meningkat, iklim persaingan yang sehat akan tergerus dan keberlangsungan usaha kelas menengah menjadi terancam,” imbuhnya.
Misbakhun menyampaikan bahwa kebijakan fiskal yang memperhatikan daya beli masyarakat justru akan lebih efektif dalam jangka panjang, termasuk dalam menjaga kontribusi terhadap penerimaan negara.
“Jika pendekatannya hanya berbasis target tahunan tanpa mempertimbangkan realitas sosial ekonomi, kebijakan ini justru bisa melemahkan basis penerimaan cukai itu sendiri,” terangnya.
Komisi XI DPR RI berencana memanggil Menteri Keuangan beserta jajaran, termasuk Direktur Jenderal Bea dan Cukai, untuk melakukan pembahasan mendalam terkait arah kebijakan penerimaan dari sektor hasil tembakau dalam kerangka RAPBN 2026.
“Dengan pendekatan yang komprehensif dan berbasis data, kita harapkan ada kebijakan yang mampu menyeimbangkan antara kebutuhan fiskal negara dan keberlanjutan pelaku industri skala menengah serta stabilitas ekonomi lokal,” tutup Misbakhun.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano