Seperti biasanya, Pancasila, Kapitalisme dan Sosialisme saling sapa lewat BBM untuk janji bertemu.

Tiga sekawan yang tinggal di sebuah kota ini selalu menyisakan sehari dalam seminggu untuk ngopi bersama di warung kopi favorit pilihan mereka setiap minggu.

Ada saja topik yang mereka bicarakan. Mulai dari keluarga sampai pekerjaan mereka. Namun kali ini, mereka bicara soal bank milik Kapitalisme.

Begini cuplikan obrolan mereka.

Kapitalisme: Terserah orang bilang apa. Yang jelas kalian tidak pernah bisa membuat sebuah bank. Saya tak pernah dengar tuh ada bank milik Pancasila atau bank milik sosialisme. Yang ada hanya bank milik saya, milik  Kapitalisme.

Pancasila: Ya saya akui. Tapi saya sudah membuat dasar bahwa kelak kalau saya membangun sebuah bank akan saya pastikan bahwa bank itu mampu mewujudkan azas keadilan bagi seluruh stakeholders-nya. Tidak seperti bank milikmu yang hanya menguntungkan buat kamu saja.

Sosialisme: Nanti sistem perbankan yang saya buat akan diarahkan ke sistem bank publik. Seluruh pembiayaan proyek kota ini yang berhubungan langsung dengan publik atau rakyat seperti infrastruktur, jalan tol, pembangunan rumah sakit atau sekolah dll akan saya beri bunga nol persen. Bunga di atas nol persen hanya untuk kepentingan di luar publik.

Kapitalisme: Ha ha ha… mana buktinya? Kenapa sampai sekarang kalian tak pernah bisa mewujudkannya? ha ha ha…
Hai Sosialisme, setahu saya dulu kamu kan pernah buat bank seperti itu. Niru saya kan? Tapi kok sekarang ngga ada lagi kabarnya ya?

Sosialisme: Banyak faktor. Tapi saya yakin, saya bisa buat lagi bank publik.

Kapitalisme: Akui saja lah, kalian tak mampu. Keyakinan kalian hanya ada di awang-awang. Kalian tak pernah mampu membumikan keyakinan kalian. Jujur saya katakan ya. Saya sadar banyak kelemahan yang saya miliki. Tapi, setidaknya saya bisa membuktikan. Saya punya bank. Dan saya menikmati tetesan kesejahteraan lebih dari cukup dari bank saya. Dan saya cukup puas dengan itu.
Maaf ya…Kalau saya lihat kalian cuma bisa kritik sana kritik sini soal bank punya saya. Ya..sebagian saya setuju dengan kritik kalian. Sebagian tidak. Namun masalahnya kalian hanya bisa kritik tanpa pernah bisa merealisasi keyakinan kalian.

Pancasila terdiam. Sosialisme agak geram mendengar kritik kapitalisme.  Pancasila sadar bahwa tak mudah mengembangkan bank Pancasila saat jaringan bank kapitalisme sudah mengakartunjang di kotanya.

Pancasila: Hai Kapitalisme… persoalan ini tak sesederhana itu, kompleks masalahnya. Tapi saya pegang pernyataan kamu soal “Saya sadar banyak kelemahan yang saya miliki” dan “Sebagian saya setuju dengan kritik kalian”.

Sosialisme: Apa maksudmu Pancasila?

Pancasila: Begini. Kapitalisme tadi kan mengakui bahwa dia banyak kekurangannya. Dan dia juga setuju dengan beberapa kritik kita. Bagaimana kalau saya usul, kita akan bantu habis-habisan kapitalisme untuk mengembangkan banknya. Dan kita akan tutupi kelemahan-kelemahan bank punya kapitalisme agar bank tersebut benar-benar bisa jadi bank yang benar-benar bisa dinikmati oleh semuanya, oleh seluruh penduduk kota kita ini.

Sosialisme dan Kapitalisme terdiam dan merenung sejenak.

Sosialisme: Ini bisa terjadi kalau Kapitalisme punya keasadaran untuk menerima kritik kita dan mau memperbaiki kesalahannya.

Pancasila: Kan kita hidup dan berteman sudah cukup lama toh? Ya seharusnya kita harus bisa menerima perbedaan atau kritik asal itu benar. Dengan cara itu kan kita bisa tetap berteman, berdampingan sampai ngopi bareng seperti saat ini.

Kapitalisme: Bagaimana caranya?

Sosialisme: Kalau kita punya persamaan, saya pikir kita bisa lakukan itu.

Pancasila: Sosialisme ada benarnya juga. Meski kita beda keyakinan soal cara membesarkan sebuah bank tetapi kita kan tetap bisa ngopi bareng dan ngobrol  seperti saat ini.  Kita bisa ngopi bareng, kenapa membantu membesarkan bank milik mu nggak bisa?
Saya jadi ingat sebuah prinsip bahwa hakikat perbedaan sebenarnya adalah rahmat yang teramat besar nilainya. Pasti ada jalan.

Sosialisme: Kita kan ingin membangun bank yang baik dan benar di kota kita ini kan. Kita kan juga ingin agar kota ini bangkit menjadi kota yang makmur dan sejahtera kan?

Dan obrolan-obrolan itu terus berlanjut….Tiga sekawan itu akhirnya sepakat mengakhiri ngopi barengnya ketika istri Pancasila telpon menanyakan kapan pulang. Malam bertambah larut..