Sambil ngudud di teras padepokan Syekh Jansen Al-Kebayoraniyah, saya simak pengajian singkat tentang NU yang pernah menerima konsep nasakom (nasionalis-agama-komunis) yang ditawarkan oleh Bung Karno.

Begini. Waktu itu Bung Karno hanya memberi waktu tiga hari kepada NU untuk menolak atau menerima nasakom. Dalam waktu sesingkat itu, KH Wahab Chasbullah dan KH Idham Chalid mengambil keputusan menerima nasakom dengan pertimbangan sebagai berikut.

#Pertama, tidak mungkin mengumpulkan seluruh pengurus cabang NU yang tersebar di berbagai daerah dalam waktu sesingkat itu, sementara keputusan harus dibuat cepat mengingat PKI telah menghasut Bung Karno untuk membubarkan partai politik yang tidak mau menerima nasakom

#Kedua, bila partai NU dibubarkan maka praktis tidak ada lagi partai besar Islam yang bisa memperjuangkan aspirasi umat, baik di pemerintahan maupun di parlemen, mengingat partai Masyumi sudah dibekukan sebelumnya.

Selang beberapa bulan kemudian, setelah menerima nasakom, NU mengumpulkan seluruh pengurus cabang untuk menjelasan dua alasan mengapa NU menerima nasakom seperti tersebut di atas. Seluruh pengurus cabang pun menerimanya.

Pada pertemuan itu KH Wahab Chasbullah berpesan, “Kecuali terpaksa, jangan bertempur di luar gelanggang, karena hanya sedikit mendatangkan manfaat bagi umat.” Kalimat ini menandai dimulainya pertempuran terbuka NU yang dikomandani oleh politikus cerdik, KH Idham Chalid, melawan PKI (baik di pemerintahan maupun di parlemen, sampai akhirnya pada tingkat akar rumput juga).

Sadar bahwa paham komunis sudah menyebar luas, NU pun mengusulkan kepada Bung karnio agar tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila. Ide ini dilontarkan untuk mengingatkan masyaraķat bahwa dasar negara kita adalah pancasila, jangan sampai tergantikan oleh paham komunis; sekaligus menyatukan kaum nasionalis dengan Islam untuk melawan ajaran komunis.

Begitu PKI sudah begitu besar dan sulit ditandingi, NU pula yang memancing banyak pihak untuk mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup, bahkan PKI pun terpengaruh dan paling lantang menyuarakan ide tersebut.

Idham Chalid sadar betul, bila pemilu pasca-Dekrit presiden diselenggarakan, bisa dipastikan PKI akan memenangkannya. PKI tidak menyadari bahwa ide menjadikan Bung Karno presiden seumur hidup sesungguhnya untuk meniadakan pemilu. Buat apa ada pemilu bila presiden sudah ditetapkan? Demikianlah logikanya. Pemilu akhirnya tidak terselenggara, negara dan bangsa selamat dari bahaya kemenangan komunisme.

Melihat sudah demikian mengguritanya PKI di masyarakat, NU pun mengadakan perlawanan pada tingkat akar rumput dengan melahirkan berbagai ormas tandingan. Lesbumi lahir untuk menandingi Lekra, Pertanu untuk melawan BTI, dan Banser Ansor untuk melawan Pemuda Rakyat.

“Demikianlah sekelumit cerita ini saya sampaikan agar warga NU tidak hanya hapal doa tahlil dan fasih membaca Arab gundul, tapi juga tahu sejarah masa lalunya,” kata Syekh Jansen.

Usai pengajian, saya bersalaman untuk pamit pulang sambil menyelipkan beberapa amplop tebal titipan teman-teman. “Satu amplop isinya berapa, nih?” tanyanya, berbisik, dengan wajah semringah saat bercipika-cipiki. Terlihat gembira, dia. Sepertinya sudah tiga kali pemilu dia gak pernah kebagian amplop. **

M Djoko Yuwono, Wartawan Senior dan Budayawan.