Proses bongkar muat kontainer berlangsung di Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS) Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Kamis (8/1). Pada 2014 total volume bongkar muat atau trougput peti kemas TPKS Tanjung Emas mencapai 575.671 TEUs atau meningkat sekitar 15 persen dibandingkan pencapaian 2013. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/Rei/nz/15.

Jakarta, Aktual.com — Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita mengatakan Pelabuhan Tanjung Priok belum tentu menjadi pelabuhan utama untuk ekspor dan impor, sesuai dengan peraturan presiden tentang sistem logistik nasional.

Maka dari itu, perpanjangan kontrak PT Pelabuhan Indonesia II dengan Hutchison Ports Holding (HPH) untuk Jakarta International Container Terminal (JICT) dinilai sangat berisiko.

Selama jangka waktu kontrak 20 tahun dengan pihak asing itu, memungkinkan munculnya potensi pelabuhan baru yang akan menjadi pelabuhan utama. Dia memprediksi Pelabuhan Kuala Tanjung, Bitung, bakal menjadi potensi besar menggantikan Priok karena letaknya di pinggir Indonesia sehingga dapat meratakan volume keluar Jawa.

“Kedepan belum tentu Priok menjadi pelabuhan utama untuk ekspor dan impor sesuai dengan Perpres tentang Sislognas, dengan kontrak jangka panjang maka pemerintah RI secara tidak langsung terikat dalam menyusun blueprint pelabuhan untuk masa depan,” kata Zaldy, Minggu (1/11).

Dalam kontrak baru, Pelindo II mendapat porsi kepemilikan saham sebesar 51% atau lebih besar 2% ketimbang kontrak lama. Nilai manfaat keuntungan dari kontrak yang diperpanjang hingga 2039 itu senilai US$486,5 juta atau setara Rp6,6 triliun.

Dikhawatirkan, Pelabuhan New Priok yang dioperatori Port of Singapore untuk Terminal 1 tidak dapat berkembang karena dapat mengancam keberlangsungan pelabuhan di Singapura.

“Tapi apakah PSA mau membesarkan Kalibaru kalau sampai mengancam keberlangsungan Pelabuhan di Singapura apalagi kapasitasnya akan dikembangkan sampai 65 juta Teus,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh: