Tembakau Madura Memiliki Kualitas Terbaik di Indonesia (Aktual/Ilst.Nelson)

Jakarta, Aktual.com — Tudingan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia, dan LSM anti tembakau bahwa industri rokok memengaruhi proses pengambilan kebijakan sembari memanfaatkan korupnya eksekutif dan legislatif dinilai tendensius.

Sejatinya, interaksi antara industri hasil tembakau (IHT) yang notabene industri dalam dalam negeri dengan pemerintah merupakan hal wajar. Tudingan itu juga tak wajar, faktanya IHT saat ini bisa dibilang sudah dikeliling sedemikian banyak undang-undang (full regulated) yang sangat membatasi ruang gerak.

Pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, menyatakan, IHT saat ini menghadapi berbagai gempuran dari berbagai sisi. Tidak hanya kampanye hitam yang dilakukan kelompok antitembakau. Pemerintah pun, akibat pengaruh kuat dari kelompok antitembakau, mengeluarkan banyak regulasi yang pada intinya membatasi pertumbuhan IHT.

“Interaksi itu wajar. IHT, kan, memang di bawah kendali pemerintah. Karena demokrasi menuntut hal seperti itu, yang tidak boleh kan menyuap secara tertutup,” tegas Daeng, di Jakarta, Minggu (27/3).

Daeng justru mewanti-wanti, saat ini banyak dana-dana asing dari berbagai perusahaan asing dan lembaga internasional mengucur deras ke berbagai kelompok kepentingan di Indonesia yang justru berkeinginan mempengaruhi kebijakan nasional. Contoh kongkritnya adalah dana-dana asing untuk kelompok antitembakau itu.

Mengutip dari website Bloomberg Initiative, sejumlah lembaga  menerima bantuan asing untuk kampanye anti tembakau. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan pernah menerima US$ 315.825 dengan tujuan melatih tim khusus kontrol tembakau di sedikitnya tujuh provinsi. Kemudian juga menerima lagi US$ 300.000 memperkuat  kontrol tembakau melalui peraturan.

Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pernah menerima US$ 455.911 untuk mengeluarkan larangan iklan, promosi, dan kegiatan sponsorship oleh industri terkait tembakau. Juga menerima US$ 142.543 dan US$200.000 untuk lebih mendorong agenda pelarangan iklan-iklan rokok.

“Korporasi asing atau lembaga asing kasih uang untuk mengubah regulasi dengan tangannya sendiri. Mereka lebih anarkis tapi tidak pernah dianggap berbahaya oleh pemerintah. Saya bisa buktikan semua undang-undang mulai UU Perdagangan, UU Keuangan, UU Bank Indonesia, hingga undang-undang lain, ada intervensi dana asing,” tegasnya.

Menurutnya, undang-undang yang dibuat harus mencerminkan kepentingan nasional sepenuhnya. Dia menyarankan, dengan mekanisme yang jelas, industri dalam negeri harus rajin-rajin mempengaruhi proses pembentukan undang-undang demi kepentingan nasional.

“Jangan asing terus yang mempengaruhi,” tegas Daeng.

Sementara, tudingan Peta Jalan Industri Hasil Tembakau hanya demi kepentingan industri juga tidak pas karena aturan itu sudah dibahas lintas kementerian, termasuk Kementerian Kesehatan, dan diseuaikan antara industri dan target penerimaan negara baik cukai maupun pajak.

“Roadmap IHT itu dibahas bersama lintas instansi, dan menjadi kesepakatan bersama, cuma Kementerian Kesehatan kalau diundang memang tidak mau datang,” ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Enny Ratnaningtyas.

Berbagai target yang tertuang di peta jalan, seperti kenaikan produksi rokok, juga sudah memperhitungkan target-target pemerintah yang berkaitan dengan IHT seperti kenaikan cukai.

“Dari sisi produksi pun itu sebenarnya tidak tinggi, dihitung mengikuti inflasi,” tegasnya.

Adapun kekhawatiran bahwa roadmap tidak mempertimbangkan aspek kesehatan  dinilai tidak pas. Kata dia, aturan-aturan di sektor rokok kan semakin ketat, misal ada PMK Nomor 20 soal pembelian cukai di muka. Aturan itu saja sudah membuat industri turun drastis. Dari 4.000 industri kini terisa hanya 700 unit usaha. “Masak segalanya selalu disebabkan asap rokok,” kritik Enny

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka