Direktur Eksekutif KPPOD, Robertus Na Endi Jaweng (kanan) dan Anggota Ombusman RI, Adrianus Melila (kiri) saat diskusi Aktual Forum Mengambil "Manfaat dari Mengelola Keluhan Masyarakat" di kantor aktual.com, Jalan Tebet Barat VIII, Jakarta Selatan, Senin (13/6). Dalam konteks pelayanan publik, demokrasi harus mampu mewujud dalam semua institusi penyedia layanan publik dalam bentuk keterbukaan yang kemudian dikonkreatkan melalui disediakannya ruang-ruang penyampaian kaluhan atau pengaduan jika pelayanan yang diterima tidak sesuai dengan harapan atau kewajiban pemberi layanan. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Tertangkapnya salah satu pejabat kejaksaan di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, mencuatkan polemik bahwa pengelolaan dana desa selama ini sudah menjadi bancakan korupsi.

Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng, dalam korupsi dana desa ini, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) jangan melihat angka yang kecil, melainkan bahayanya yang luar biasa.

“Karena trennya korupsi di daerah semakin banyak. Dulu di tahun 2001, ada tiga kasus korupsi di daerah, tapi sekarang ada 731 kasus. Ini jangan didiamkan, perlu diblow up untuk peringatan dini,” cetus dia di diskusi soal dana desa, di Jakarta, Kamis (3/8).

Makanya, dirinya tidak sepakat kalau korupsi dana desa nilainya masih kecil. Justru mestinya, soal korupsi dana desa ini, jangan kompromi soal jumlah, baik itu kasusnya atau uangnya. Karena sekali pemerintah mentolerir, akan menjadi masalah baru.

“Apalagi saat ini, ada 48 kasus yang sedang diselidiki di kejaksaan atau kepolsian. Dan pelaku korupsi dana desa itu sudah tersebar di 16 provinsi,” kata dia.

Ironisnya lagi, dia menambahkan, kasus seperti di Pamekasan korupsi dana desa justru melibatkan kejaksaan. Padahal, kepolisian dan kejaksaan itu diminta Presiden Jokowi untuk mengontrol dana desa dan mereka masuk sebagai Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (T4D).

“Itu untuk mendampingi dan mengawal agar dana desa terkelola secara akuntabel. Coba lihat di Pamekasan, itu ironos sekali, orang yang mau mengontrol, malah mengorupsi dana desa. Ini jadi sinyal buruknya kontrol dari pusat sampai tingkat desa,” papar dia.

Menururtnya, data penyimpangan dana desa itu banyak terjadi di Maluku, sebagian Papua dan Kalimantan. “Tapi yang paling disorot itu di Maluku dan Maluku Utara. Sekitar 20-30 persen dari total kasus secara nasional,” ujar dia.

Namun begitu, kata dia, modus kroupsinya relatif sederhana. Seperti mark up harga barang, rencana dianggarkan tinggi tapi terjadi pemotongan, dan paling banyak kasus pelatihan. Yang dianggarkan ikut pelatihan 30 orang, tapi faktanya cuma 10 orang.

“Itu modus sehari-hari dan simpel. Belum canggih. Dan nominalnya sebanyak Rp100 juta-an bukan miliaran. Tapi ini tak bisa ditoleransi. Seperti memburu rente dengan mengambil sedikit-sedikit,” tegas dia.

 

Laporan Busthomi

Artikel ini ditulis oleh: