Jakarta, Aktual.com – Gelaran pilkada serentak 2018 baru saja telah berlangsung, Rabu, 27 Juni 2018 lalu. Hasilnya pun masih dalam penghitungan manual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Masyarakat pun kebingungan karena “jagoannya” di pilkada serentak ini terseok-seok, bahkan ada yang “keok” berdasarkan hasil itungan cepat sejumlah lembaga survei yang memantau jalannya pilkada 2018 ini.
Uniknya dari hasil hitungan cepat, ada 16 daerah dan sejumlah daerah dinasti politik “keok”, baik melawan kotak kosong dan perorangan. Itu artinya masyarakat saat ini sudah cerdas dalam menentukan politiknya. Meski begitu, hasil sejumlah lembaga survei tentunya bukan semata-mata hasil yang menentukan. Karena yang menentukan adalah KPU selaku lembaga yang memiliki wewenang dalam penyelenggaran pilkada serentak 2018 ini.
Ada 171 daerah provinsi, kabupaten dan kota mengikuti gelaran pilkada serentak ini. Pilkada serentak kali ini merupakan gelombang ketiga sebelum menuju pada 2027. Pilkada serentak gelombang pertama berlangsung 9 Desember 2015 dan pilkada serentak gelombang kedua 15 Februari 2017. Ada fenomena menarik pada pilkada 27 Juni 2018 ini, yakni adanya pilkada yang hanya diikuti satu pasangan calon kepala daerah atau calon tunggal dengan jumlah yang meningkat.
Berdasarkan data KPU pada pilkada 2018 ada 16 pasangan calon (paslon) kepala daerah-wakil kepala daerah akan melawan kolom kosong atau kerap disebut “kotak kosong” yang berkonsteasi di 16 daerah kabupaten dan kota. Jumlah pasangan calon tunggal ini mengalami peningkatan dibanding dua gelombang pilkada serentak yang sebelumnya telah digelar.
Pilkada serentak 2015 misalnya, hanya ada tiga daerah dengan calon tunggal, yaitu Pilkada Kabupaten Tasikmalaya, Pilkada Kabupaten Blitar dan Pilkada Kabupaten Timur Tengah Utara. Selanjutnya, pilkada serentak gelombang kedua 2017 meningkat menjadi sembilan daerah dengan calon pasangan tunggal.
Pada pilkada gelombang ketiga 2018 ini kembali meningkat. Itu artinya, fenomena pasangan calon tunggal tidak bisa dihindari karena diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
Kemudian Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 11 Tahun 2016 mengatur Pilkada calon tunggal dalam Pasal 11A, mengatur surat suara pada pemilihan satu pasangan calon memuat dua kolom yang terdiri atas satu kolom yang memuat foto dan nama pasangan calon dan kolom kosong yang tidak bergambar atau lebih populer dengan istilah “kotak kosong.” PKPU No.8 Tahun 2017 juga mengatur tentang sosialisasi “kolom kosong.”
Saat masa kampanye di Prabumulih muncul Posko kotak kosong. Posko ini berdiri dengan diprakarsai barisan relawan kotak kosong (Koko). Sejak April 2018 posko Kokok ini sudah berdiri. Kehadiran posko tersebut menimbulkan reaksi beragam, tidak hanya dari masyarakat awam tapi juga mendapat respon dari para wakil rakyat di parlemen yang kemudian mengharapkan agar tidak memilih kotak kosong pada Pilkada 2018.
Lantas bagaimana jika ada yang memilih kolom kosong dalam kertas surat suara yang tidak ada foto pasangan calon? Tidak bolehkah melakukan kampanye dengan tagline “pilih kotak kosong” atau kolom kosong? Ada juga menilai memilih kotak kosong/kolom kosong sama artinya dengan tidak memilih atau golput dan tidak sah?
Memilih kolom kosong dalam pilkada menurut anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan bukan masuk katogeri golput. Suara yang diberikan masyarakat ke dalam kotak kosong merupakan suara sah dengan nilai yang sama dengan mereka yang memilih seorang pasangan calon.
Bagaimana dengan kampanye pilih kolom kosong, tentunya jawaban itu ada pada PKPU No.8 Tahun 2017. Kampanye memilih kolom kosong pada pilkada terjadi di Kota Prabumulih, Sumatera Selatan (Sumsel), yang hanya diikuti satu pasangan calon, yaitu Ridho Yahya-Andriansyah Fikri.
Kemudian jika hasil pilkada dengan calon tunggal yang ditetapkan KPU pemenangnya adalah kolom kosong bagaimana selanjutnya? KPU telah menetapkan, jika pada pilkada serentak 2018 yang memenangkan pemungutan suara pilkada adalah kotak kosong akan dilaksanakan pilkada ulang.
Meski pun pilkada dengan calon tunggal sudah mulai muncul saat Pilkada langsung 2006 di Kabupaten Jepara, kemudian menjadi polemik pada Pilkada 2015. Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memberikan putusan atas uji materiil UU Nomor 8 Tahun 2015 dengan putusan No. 100/PUU-XIII/2015 MK membuka jalan beberapa daerah yang memiliki satu pasang calon kepala daerah untuk tetap menyelenggarakan Pilkada pada tahun 2015.
Pilkada dengan calon tunggal dianggap bukanlah kontestasi politik yang bagus, karena kurangnya persaingan meraih kekuasaan yang seharusnya terjadi. Fenomena pilkada calon tunggal yang terus meningkat jumlahnya menjadi kontestasi demokrasi yang tidak ideal.
Dinasti Politik Runtuh di Makassar