Jakarta, Aktual.com — Pasca diterjang gelombang liberalisasi, demokratisasi dan hak-hak individu pada era 80-an yang memuncak pada runtuhnya Presiden Soeharto tahun 1998, kini kita sedang dihadapkan kembali pada ancaman estafet gelombang berikutnya yang bertujuan memusnahkan paham citizenship (kewarga negaraan).

Gelombang liberalisasi, demokratisasi dan hak-hak individu dapat kita simpulkan telah mencapai muara atau tahap finalisasinya, yang ditandai dengan masuknya norma dan aturan individualisme dan liberalisme di dalam konstitusi dan praktek penyelenggaraan negara kita. Selain itu, salah satu muara utama yang dituju dari gelombang tersebut adalah pasar bebas ekonomi ASEAN yang telah berlaku secara utuh pada akhir 2015.

Setelah pondasi Individualisme dan liberalisme ditancapkan dengan sangat kokoh di dalam konstitusi negara (NKRI) maupun konstitusi kawasan (ASEAN), maka untuk memudahkan lalulintas penjajahan asing melalui instrumen perdagangan dan investasi, pada tahap berikutnya kita harus bersedia menerima nasib diterjang oleh gelombang yang akan menggulung dan merampas hak istimewa kita sebagai warga negara Indonesia.

Pasar bebas secara prinsip memang menganut paham kosmopolitanisme (warga dunia), yaitu suatu paham yang menganggap seluruh manusia dari berbagai suku dan ras di dunia sebagai satu warga tunggal (warga dunia). Paham kosmopolitanisme tak mengenal warga negara dan batas negara.

Pandangan kosmopolitanisme tersebut makin dipermudah oleh hadirnya revolusi digital yang pada perkembangan berikutnya telah membentuk masyarakat baru lintas negara yang disebut nitizen (warga internet) menggantikan paham citizenship (kewarganegaraan).

Paham citizenship (kewarganegaraan) dengan berbagai hak-hak istimewa yang melekat di dalamnya adalah salah satu hambatan bagi kekuatan modal asing yang berkehendak menguasai sebuah wilayah, tanah, air, udara dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, hak istimewa, terutama hak kepemilikan (HM) atas tanah yang melekat pada setiap warga negara Indonesia (WNI) harus dimusnahkan karena bertentangan dengan hukum kesetaraan dan persaingan bebas.

Kesetaraan di bidang politik yang diusung dalam gelombang demokrasi yang datang sebelumnya ternyata hanya “pintu masuk” untuk maksud menciptakan kesetaraan dan persamaan hak dan kedudukan di bidang ekonomi antara WNI dengan WNA. Setelah tercapainya kesamaan hak dan kedudukan di bidang ekonomi antara WNI dengan WNA yang diusung pasar bebas, maka penjajahan dan dominasi asing terhadap ekonomi dan politik bangsa kita dapat dengan mudah dicapai.

Sebetulnya praktek kebijakan di bidang ekonomi, investasi dan agraria sepanjang era reformasi tidak lagi mengenal perbedaan antara hak (right) dan kewajiban (obligation) warga negara Indonesia dengan warga negara asing.

Melalui serangkaian UU, Kepres, Kepmen, Perda dan paket kebijakan di bidang ekonomi dan investasi, paham citizenship yang mengenal perbedaan hak antara warga negara Indonesia (WNI) dengan warga negara asing (WNA) dimanipulasi dan secara perlahan  dimusnahkan.

Itulah sebabnya sejak era reformasi, warga negara Indonesia justru makin kehilangan hak kepemilikannya atas tanah, kandungannya dan bangunan yang berdiri di atasnya. Di Jakarta, orang-orang Betawi terusir dan bertempat tinggal di pinggiran kali, bernasib mirip kaum oborigin di Australia yang dimusnahkan oleh kolonialis Inggris. Di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, warga negara Indonesia setempat hanya menjadi kuli dari perkebunan milik investor asing, hampir mirip dengan keadaan zaman VOC dulu.

Tidak heran jika Bung Karno dalam salah satu pidatonya pernah memperingatkan kepada kita tentang nasib sebuah bangsa yang pernah mencoba berdiri menjadi bangsa berdaulat, namun jatuh terplanting menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli diantara bangsa-bangsa.

Punahnya paham citizenship tentang hak istimewa warga negara Indonesia, lantaran sepanjang era reformasi kita terseret hanyut dan larut dalam gelombang seknario asing. Kita hanya fokus pada perjuangan untuk menegakan kemerdekaan dan persamaan hak-hak individu di bidang politik dan hukum.

Kita lupa dan mengabaikan empat persoalan mendasar yang menjadi “benteng non-fisik” untuk menangkal penetrasi ideologi dan budaya serta invasi ekonomi dan politik kekuatan asing, yaitu masalah agraria (kepemilikan atas tanah), imigrasi (pengawasan orang asing), serta masalah kewarganegraan dan kependudukan (terkait hak dan kewajiban).

Terkait masalah kewarganegaraan dan kependudukan, ada kecenderungan, baik oleh pemerintah maupun DPR, dalam perumusan dan praktik kebijakan sengaja mengabaikan dan mengaburkan pengertian tentang “warga negara” (citizen) yang berbeda dengan pengertian tentang penduduk (resident). Seakan-akan setiap penduduk yang memegang Kartu Tanda Penduduk (KTP), walaupun warga negara asing (WNA), mempunyai kesamaan hak dan kedudukan, terutama di bidang ekonomi, dengan penduduk yang berstatus sebagai warga negara Indonesia (WNI).

Di dalam Pasal 26 UUD (amandemen) telah diuraikan tentang perbedaan pengertian antara Penduduk dengan Warga Negara. Penduduk adalah setiap orang, baik WNA maupun WNI, yang bertempat tinggal tetap atau sementara di dalam wilayah negara Indonesia.

Sementara pengertian warga negara menurut Pasal 26 UUD (amandemen) ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Orang orang bangsa lain yang dimaksud misalkan peranakan Belanda, Tionghoa dan Arab yang bertempat kedudukan di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada negara Republik Indonesia.

UUD hasil amandemen memang telah menghapus azas Ius Sanguinis (asas keturunan) yang dianut oleh UUD 1945 (rumusan BPUPKI 1945). Azas Ius Sanguinis yang juga dianut negara seperti RRC adalah azas yang menentukan kewarganegaraan seseorang menurut darah dan keturunan dari orang tua yang bersangkutan.

Longgarnya azas kewarganegaraan yang dianut oleh konstitusi UUD amandemen menyebabkan setiap orang dapat dengan gampang menjadi warga negara Indonesia, tentu untuk tujuan mendapatkan persamaan hak dan kedudukan dalam memilik tanah dan menguasai udara dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Keadaan tersebut juga makin diperparah oleh perumusan dan penerapan kebijakan, terutama kebijakan di bidang ekonomi dan investasi asing, yang sering kali mengabaikan azas nasionalitas yang menghendaki bahwa hanya warga negar Indonesia (WNI) saja yang mempunyai hubungan hukum sepenuhnya dengan tanah, air, udara serta kekayaan yang terkandung di dalamnya.

“Azas nasionalitas menegaskan bahwa hanya Warga Negara Indonesia (WNI) saja yang mempunyai hak milik atas tanah, air, udara serta kekayaan yang terkandungan di dalamnya. Jadi dalam konsep citizenship, tanah itu hanya disediakan untuk warga negara dari negara yang bersangkutan”.

Warga Negara Asing (WNA) dan atau Badan Hukum Asing (BHA) tidak diperkenangkan mempunyai hak milik atas tanah, air, udara serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dengan status Hak Milik (HM). Warga Negara Asing (WNA) yang berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing (BHA) yang memiliki perwakilan di Indonesia hanya diberi Hak Pakai (HP), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB).

Terkait hubungan hukum, baik WNA maupun WNI dengan tanah, air, udara dan kekayaan yang terkandung di dalamnya telah diatur di dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 9 UUPA tersebut menyatakan bahwa  hanya warga negara Indonesia sajalah yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang udara Indonesia. UUPA tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP) atas tanah.

Walaupun dalam kontrak karya pertambangan atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dilakukan dengan Warga Negara Asing atau Badan Hukum Asing hanya diperkenankan dilakukan dengan azas Hak Pakai dan Hak Guna Usaha. Namun, dengan jangka waktu kontrak Hak Pakai atau Hak Guna yang sangat panjang, lebih dari 90 tahun dan dapat diperpanjang kembali, jelas mengandung semangat Hak Milik.

Demikian juga dalam praktiknya tak sedikit warga negara asing menguasai tanah yang berstatus Hak Milik dengan melakukan rekayasa hukum, yaitu dengan cara warga negara asing melakukan perjanjian jual beli dengan warga negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah yang diperjanjikan.

Modus lainnya adalah Warga Negara Indonesia memberikan kewenangan melalui ’surat kuasa’ kepada Warga Negara Asing untuk menguasai dan melakukan perbuatan hukum di atas tanah hak milik tersebut. Secara administratif tanah hak milik yang dimaksud terdaftar atas nama Warga Negara Indonesia, tetapi praktik di lapangan Warga Negara Asing-lah yang menguasai dan melakukan aktifitas di atas tanah hak milik tersebut.

Akibatnya, menurut data Salamuddin Daeng, keseluruhan wilayah Indonesia yang telah dikuasai dan dikontrol oleh korporasi asing telah mencapai 178 juta hektar. Padahal luas daratan Indonesia adalah 195 juta hektar.

Sangat jelas masalah citizenship, bukan semata masalah administrasi kependudukan terkait pendataan untuk menjadi hak pilih di saat Pemilu semata. Masalah citizenship adalah masalah strategis yang terkait langsung dengan eksistensi dan kelangsungan sebuah bangsa. Masalah citizenship juga sangat strategis terkait ketahanan dan pertahanan sebuah bangsa dalam membendung pengaruh ideologi, penetrasi budaya, serta invasi ekonomi dan politik oleh kekuatan asing.

Masalah citizenship sangat strategis terkait erat dengan kepemilikan terhadap tanah, air, udara dan kekayaan yang terkandung di dalamnya oleh negara dan warga negara Indonesia. Masalah citizenship juga masalah strategis terkait penerapan demokrasi yang makin kabur dibajak oleh konsep nitizen (warga internet).

Bisa dibayangkan, negara tak lagi membuat putusan-putusannya berdasarkan pada konstitusi, UU dan berbagai aturan turunannya, tapi berdasarkan pada opini publik yang direkayasa melalui ribuan akun-akun anonim yang dikendalikan oleh segelintir orang yang dibayar sebagai pekerja oleh pemodal.

Ditulis oleh: Haris Rusly (Petisi 28)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka