ADA yang aneh, ketika Presiden Jokowi menyoal keberatan SBY (Demokrat) dan Prabowo (Gerindra) terhadap pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden (minimal 20% dari perolehan kursi di parlemen).

Kata Presiden Jokowi, “Kenapa dulu tidak ramai? Dulu, ingat, dulu (mereka) meminta dan mengikuti (presidential threshold 20-25%), kok sekarang jadi berbeda?”

Pernyataan itu aneh. Pak Presiden sangat mungkin lupa, Pemilu 2009 dan 2014 bisa menggunakan ambang batas (presidential threshold) karena pileg dilakukan terlebih dulu sebelum pilpres. Dengan begitu, suatu partai bisa terlebih dulu ketahuan memperoleh berapa persen suara, sehingga bisa mengajukan capres atau tidak.

Hal itu berbeda dengan Pemilu 2019–yang pileg dan pilpresnnya dilakukan berbarengan. Karena pileg dan pilpres dilakukan berbarengan, bagaimana cara menentukan suatu partai bisa atau tidak mengajukan capres, mengingat hasil pileg belum diketahui? Apa menggunakan hasil pileg 2014? Lho, bukankah hasil pileg 2014 sudah dipergunakan untuk pilpres 2014?

Karena itu, mungkin ada benarnya ketika Amir Syamsudin (Ketua Dewan Pertimbangan Partai Demokrat) mengatakan bahwa pernyataan Presiden Jokowi menandakan ketakmengertiannya terhadap persoalan yang dibicarakannya.

“Menyamakan sistem Pemilu 2009 dan 2014 dengan Pemilu 2019 hanya ada di benak orang yang patut diragukan kecerdasannya,” kata Amir Syamsudin. **

M Djoko Yuwono, Budayawan dan Wartawan Senior