Sepanjang masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak terlepas dari bayang bayang isu agama dengan nasionalisme yang berbenturan sangat hebat.
Dari persoalan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, kriminalisasi terhadap sejumlah ulama, dan sebagainya hingga sikap aparatur pemerintah yang dinilai ‘alergi’ bila bersentuhan dengan para ulama maupun aktifis muslim lainnya.
Benturan antara Jokowi dengan tokoh tokoh umat Islam, termasuk para ulama kian kencang setelah aksi bela Islam berakhir atau ketika Ahok kalah di Pilkada DKI Jakarta kemarin hingga polemik Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas.
Saat itulah, singgungan dengan para tokoh umat Islam, ulama, terus terjadi baik oleh pihak-pihak lingkaran kekuasaan sang presiden, maupun para pendukung pemerintah.
Dipilihnya Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2019 tidak lain untuk menangkal stigma anti- Islam yang dilekatkan kepada calon presiden Jokowi selaku petahana selama ini.
Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno mengatakan, Ma’ruf dipilih untuk mengantisipasi isu anti-islam yang menyerang Jokowi.
“Sejauh ini nama dia enggak pernah muncul di survei. Disebut juga enggak pernah. Sehingga kontribusi elektoral Ma’ruf Amin enggak signifikan ke Jokowi,” kata Adi, di Jakarta, Jumat (10/8).
Dikatakan dia, satu-satunya kelemahan Jokowi saat ini adalah serangan soal isu anti-Islam. Sementara soal elektabilitas, Jokowi sudah mengantonginya. Sehingga, dipilihnya Ma’ruf merupakan jalan keluar bagi mantan gubernur DKI Jakarta itu untuk menangkis isu SARA tersebut.
“Teman-teman parpol koalisi confident bahwa elektabilitas Jokowi sudah aman. Maka tidak terlalu perlu cawapres yang elektabilitas tinggi, cukup Jokowi saja deh. Yang penting Ustaz Ma’ruf dijadikan untuk antisipasi serangan yang berbau SARA dan agama,” sebutnya.
Akan tetapi, nada berbeda justru dikeluarkan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menilai langkah Jokowi percuma mengambil pihak ulama sebagai Cawapres dengan tujuan untuk menangkis stigma Anti Islam. Padahal, fakitanya penguasa sekarang memiliki lingkaran anti Islam dan Islamophobia di sekitarnya.
“Dari mulut mereka keluar kebencian, tapi dalam hati mereka kebencian itu lebih dalam. Waktu akan menceritakan,” kata Fahri dalam pesan singkatnya yang diterima wartawan, Senin (23/7).
Fahri menyebutkan, di antara dosa-dosa Jokowi yang besar adalah karena membiarkan berkembangbiaknya elemen anti Islam dan Islamophobia melalui medium konflik ideologi.
“Beda dengan presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono. 10 tahun presiden SBY tidak pernah kita terseret dalam narasi seperti ini. Ingat, radikalisasi ini berbahaya bagi NKRI,” sebutnya.
Politisi PKS juga membeberkan kebenaran ucapannya, soal elemen anti Islam dan Islamophobia tersebut. Dia mempersilahkan didebat kalau apa yang disampaikan bukan kebenaran.
“Silahkan bantah. Tapi jika ada 7 juta orang datang dari seluruh wilayah republik, melakukan protes atas ketidakadilan yang dirasakan oleh umat Islam akibat nuansa anti Islam dan Islamophobia dalam kebijakan negara, maka itu bukan isapan jempol. Itu fakta,” ketusnya lagi.
Lanjut Fahri, meski banyak tokoh Islam yang berubah pikiran tentang presiden Jokowi, tetapi jika lingkar dalamnya terlalu militan dengan nuansa anti Islam dan Islamophobia, maka semua upaya ini akan sia-sia.
“Saya memakai terminologi Taubat Nasuha. Mengapa? Karena belum nampak taubat nasuha dari pemerintahan ini atas konflik ideologi yang mereka buat di awal kekuasaan mereka,” katanya.
Menurut anggota DPR dari Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, pencitraan dengan merekrut tokoh Islam dan ulama, tidak mengobati luka yang sudah terlalu dalam. HRS masih di luar, ulama masih tersangka, dan lain-lain.
“Adilkah kita kalau menuduh pemerintah berkuasa sebagai pemicu konflik ideologi dan tumbuhnya paham anti Islam dan Islamophobia? Tentu adil karena tugas kekuasaan adalah bertanggungjawab atas perkembangan masyarakat. 10 tahun masa SBY tidak pernah begini,” papar Fahri.
Fahri mengaku menulis kecemasan ini agar seluruh anak bangsa ini antisipatif terhadap kemungkinan meruncingnya lapangan menjelang Pemilu 2019. Apalagi pemerintah ini telah mendorong capres semakin sedikit.
“Jika calonnya hanya dua dapat dibayangkan runcingnya perbedaan. Jadi, mari kita waspada dengan upaya pemecahbelahan bangsa. Mari lawan semangat Anti Islam dan Islamophobia yang pernah tumbuh dan belum sirna. Semoga bangsa kita bersatu melawan upaya pecah-belah. Wallahu a’lam,” pungkas dia.
2019, Ulang Sejarah 2004?
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang