Izin Eksport Konsentrat Freeport (Aktual/Ilst.Nelson)
Izin Eksport Konsentrat Freeport (Aktual/Ilst.Nelson)

Jakarta, Aktual.com — Pemerintah akan menerbitkan izin rekomendasi ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia (PT FI) dengan persyaratan bahwa PT FI harus menyetorkan dana USD530 juta sebagai jaminan kesungguhan akan membangun smelter untuk mengolah dan/atau memurnikan hasil tambang PT FI di Indonesia. Permasalahan izin ekspor ini diberlakukannya sejak Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengatur bahwa sejak 12 Januari 2014, PT FI harus memurnikan di dalam negeri seluruh hasil tambangnya di dalam negeri.
Ketentuan Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2014 berdampak pada larangan ekspor hasil tambang yang belum diolah dan/atau dimurnikan di dalam negeri. Selama ini, hasil tambang PT FI sebagian besar dibawa/ekspor tanpa dimurnikan di dalam negeri Indonesia dan malah dimurnikan di beberapa negara di luar Indonesia, tempat PT FI memiliki smelter.

Tindakan pemurnian di luar negeri ini dianggap tidak sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang dipertegas oleh Mahakamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa ketentuan kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri terhadap seluruh hasil tambang di Indonesia telah sesuai dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah Konstitusi kewajiban pemurnian di dalam negeri tersebut, Konstitusional

PT FI tetap diberikan izin ekspor konsentrat pasca 12 Januari 2014 dengan penerbitan dua kali memorandum of understanding (MoU) antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan PT FI dengan masing-masing MoU selama 6 (enam) bulan izin ekspor. Setelah MoU PT FI tetap diberikan perpanjangan izin ekspor hingga tanggal 26 Januari 2016. Pemerintah bersikap keras kepada PT FI atas berakhirnya izin ekspor pada 26 Januari 2016.

Penerbitan MoU dan izin ekspor ini menjadi simalakama bagi Pemerintah. Secara yuridis, Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2009 harus ditegakkan, tapi di sisi lain ada aspek nonhukum (sosial-ekonomi) yang menjadi pertimbangan lain dari Pemerintah. Pemerintah pun tetap memberikan izin ekspor konsentrat dengan membuat instrumen ekonomi berupa adanya jaminan kesungguhan agar PT FI mau membangun smelter.

Berdasarkan MoU, PT FI seharusnya telah melakukan proses pembangunan smelter Freeport dengan progress mencapai 60% pada Januari 2016. Namun kenyataannya, PT FI baru merealisasikan 14%, termasuk menyetorkan uang setoran kepada Pemerintah senilai US$ 115‎ juta sebagai jaminan kesungguhan. Syarat jaminan kesungguhan pun diperbesar oleh Pemerintah menjadi US$530 juta dan selama dana sebesar US$ 530 juta belum dibayarkan kepada pemerintah, PT FI tidak akan mendapatkan izin ekspor konsentrat.
PT FI Tidak Beritikad Baik?

PT FI dianggap tidak beritikad baik untuk melaksanakan ketentuan hukum Indonesia dan Kontrak Karya (KK) antara Pemerintah dengan PT FI. Lambatnya perkembangan pembangunan smelter sehingga menempatkan Pemerintah pada posisi melanggar Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2009, menjadi bentuk perbuatan bahwa PT FI tidak memiliki komitmen untuk serius melaksanakan Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2009.

Dalil bahwa kewajiban pembangunan smelter tidak disepakati/diatur dalam KK menjadi dalil klasik dari PT FI. Bahwa KK sebagai perjanjian yang tunduk rezim kontrak dengan berbagai instrumen asas-asas yang ahrus ditaati menjadi dalil yang digunakan oleh PT FI.

Bahwa KK mengandung sanctity of contract, kontrak itu suci, sehingga tidak bisa membenani kewajiban baru yang tidak tertuang dalam kontrak. Argumentasi bahwa dalam kontrak terkandung asas pacta sunt servanda, bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan

ittikad baik dan menjadi undang-undang bagi para pihak, menjadi dalil ketidakmauan PT FI terhadap undang-undang yang tidak sesuai dengan kesapakatan dalam KK. Inilah yang menjadi benturan antara rezim UU No. 4 Tahun 2009 dengan KK PT FI.

Namun, akibat benturan ini, Pemerintah dianggap melakukan pelanggaran Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2009. Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2009 ini berlaku serta merta dan seketika bahwa sejak 12 Januari 2014 tidak ada lagi ekspor hasil tambang yang belum diolah dan/atau dimurnikan di dalam negeri. Pemerintah pun dianggap lemah dan melanggar hukum.
Pil Pahit Arbitrase

Sesungguhnya pil pahit pilihan agar segala bentuk dugaan pelanggaran hukum dan KK harus ditempuh oleh Pemeritah Indonesia melalui arbitrase, dapat menjadi jalan terbaik bagi penyelesaian masalah PT FI. Terkait kewajiban mengolah dan/atau memurnikan seluruh hasil tambang PT FI di Indonesia, selain ketentuan dalam Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2009, Pemerintah harus mendasarkan kewajiban tersebut sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan dalam KK. Untuk memastikan dalil hukum tersebut, forum arbitrase menjadi forum penguji dan penyelesai sengketa antara Pemerintah dan PT FI.

Kesepakatan pengolahan dan pemurnian sesungguhnya telah diatur dalam Pasal 10 ayat 4 dan ayat 5 KK yang mengatur substansi: (1) PT FI harus mengolah bijih untuk menghasilkan logam atau produk lain; (2) Untuk tujuan pengolahan bijih tersebut, PT FI harus menyusun atau mengusahakan untuk disusun Studi Kelayakan mengenai kemungkinan didirikannya pabrik peleburan di Indonesia yang harus tunduk pada pengamatan Pemerintah dan penilaian bersama oleh Pemerintah dan PT FI mengenai kelayakan ekonomi pabrik peleburan tersebut; (3) Pabrik peleburan harus berlokasi di Indonesia dan harus pula menguntungkan secara ekonomi; dan (4) Apabila pabrik peleburan tersebut dibangun oleh perusahaan atau subsidiari yang seluruh sahamnya dimiliki perusahaan, pabrik peleburan tersebut akan merupakan satu bagian dari pengusahaan berdasarkan KK.

Selain itu, dalam KK dinyatakan pula bahwa PT FI menyadari kebijakan Pemerintah ingin mendorong pengolahan di dalam negeri atas semua kekayaan alamnya untuk menjadi produk-produk akhir, apabila layak, PT FI juga menyadari keinginan Pemerintah agar pabrik peleburan dan pemurnian didirikan di Indonesia.

Dalam Pasal 10 ayat 5 KK juga dinyatakan bahwa apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak ditandatangani KK fasilitas peleburan dan pemurnian yang berlokasi di Indonesia belum dibangun atau tidak dalam proses untuk dibangun oleh badan lain, maka PT FI tunduk kepada penilaian bersama oleh Pemerintah dan PT FI atas kelayakan ekonomi dari suatu pabrik peleburan dan pemurnian tembaga di Indonesia sesuai dengan dengan kebijakan Pemerintah.

Jelas bahwa dalam ketentuan Pasal 10 KK tersebut mengadung kewajiban bagi PT FI untuk membangun pabrik peleburan dan pemurnian di Indonesia. Bahkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak KK ditandatangani belum terbangun fasilitas peleburan dan pemurnian di Indonesia, maka PT FI tunduk pada kebijakan pemerintah.

Bila Pemerintah kebijakannya menginginkan PT FI agar membangun pabrik peleburan dan pemurnian, maka menurut ketentuan dalam KK, PT FI harus membangunnya.

Lebih lanut dalam Pasal 23 ayat 2 KK dinyatakan bahwa: “PT FI untuk merencanakan dan melaksanakan segala kegiatan berdasarkan KK dan sesuai dengan standar dan persyaratan yang ditetapkan dalam KK, demi perkembangan yang baik dan progresif bagi industri pertambangan di Indonesia, dan dengan terpenuhnya senantiasa akan memperhatikan aspirasi-aspirasi dan kesejahteraan rakyat Indonesia dan pembangunan bangsa, dan akan berkerja sama dengan Pemerintah meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan struktur ekonomi dan sosial Indonesia dan dengan mengingat ketentuan-ketentuan KK akan menaati semua undang-undang dan peraturan-peraturan dari waktu ke waktu yang berlaku di Indonesia”.
Dalam Pasal 23 ayat 2 Kontrak Karya dinyatakan bahwa “ PT FI akan menaati semua undang-undang dan peraturan-peraturan dari waktu ke waktu yang berlaku di Indonesia”. Artinya dalam KK pun ada kewajiban bagi PT FI untuk melaksanakan semua peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk kewajiban pembangunan smelter.

Menanti Keberanian Pemerintah
Pemerintah harus berani untuk menguji dan mengajukan PT FI ke forum arbitrase internasional dalam rangka menegakkan kedaulatan hukum bangsa Indonesia. Pengaturan dalam UU No. 4 Tahun 2009 dan peraturan pelaksanaannya serta kesepakatan-kesepakatan dalam KK harus ditegakkan oleh kedua belah pihak. Artinya, apabila PT FI diduga melanggar peraturan perundang-undangan dan kontrak maka Pemerintah harus mendapatkan haknya dengan mengajukan dugaan pelaganggaran tersebut ke forum arbitrase.

Forum arbitrase bukanlah forum yang menakutkan, sehingga ke-enggan-an Pemerintah ‘takut’ bersengketa di arbitarse harus disingkirkan. Diperlukan kepemipinan nasional yang kuat untuk memastikan bahwa, Pemerintah Indonesia tidak menyukai segala bentuk tindakan tidak adil bagi bangsa ini, apalagi sumber daya alam mineral merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, sehingga negara harus benar-benar yakin bahwa segala pengusahaannya berorientasi sebagai modal dasar pembangunan nasional serta memastikan adanya keadilan akses bagi generasi yang akan datang.

Sumber daya alam merupakan titipan anak cucu yang harus dikelola dengan seadil-adilnya dan sebaik-baiknya. Untuk itu, kepemimpinan nasional harus kuat dalam penyelenggaraan kebijakan di bidang sumber daya alam. Tentu kita tidak mau menyelesali kita pada saatnya nanti negara kita sudah terkuras habis dan kita kemudian menyadari kebodohan-kebodohan kita dalam mengelola negara di masa lalu.

Apabila kepastian manfaat dan keadilan yang didapat oleh negara tidak optimal, maka pilihan penyelesaian sengketa ke arbitrase menjadi pilihan yang rasional. UU No. 4 Tahun 2009 telah mengatur segala kebaikan pengelolaan tambang untuk sebesar-besar kemakmura rakyat, begitu pula pasal-pasal dalam KK, walau pasal dalam KK banyak yang merugikan bangsa, namun apabila ada perusahaan-perusahaan nakal yang diduga melanggar formalitas hukum dan substansi pengusahaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, langkah forum penyelesaia sengketa abitrase menjadi langkah terakhir. Tanpa itu, upaya setangah-paksa Pemerintah yang saat ini terus dilakukan terus mandul.
Bilapun, Pemerintah memandang perlu untuk tidak mengajukan arbitarse, maka sebaiknya Pemerintah harus tegas dan keras dengan tidak memberikan izin ekspor konsentrat kepada PT FI karena tidak menaati UU No. 4 Tahun 2009 dan lalai terhadap ketentuan-ketentuan dalam KK. Risikonya, Pemerintah diajukan ke lembaga arbitrase oleh PT FI karena kekonsistenan Pemerintah melaksanakan undang-undang dan KK. Bila ini terjadi, maka Pemerintah harus dengan senang hati menghadapi gugatan PT FI tersebut.

Ini semua dilakukan dalam rangka menegakkan kedaulatan kita sebagai bangsa dan memastikan bahwa PT FI harus memberikan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Sekali lagi, pertambangan Indonesia harus memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya sekelompok kecil perusahaan.
“Bangsa yang waras ialah bangsa yang tidak akan diam ketika kekayaan alamnya dirampas asing tanpa memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya”.

Ditulis Oleh Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H

Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Pengajar di Fakutas Hukum Universitas Tarumanagara

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka