Konflik bernuasa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) beberapa minggu terakhir 2016 ini kembali mewarnai pemberitaan di media massa kita. Misalnya, pelarangan atau hambatan pelaksanaan ibadah oleh sebuah komunitas agama oleh massa dari komunitas agama yang lain. Alasan formalnya adalah soal tempat, teknis perizinan, dan prosedural, walau esensi masalahnya tampaknya lebih dari sekadar soal teknis. Ini terjadi di Bandung, Jawa Barat.

Bahkan dari komunitas agama yang sama (namun berbeda sekte) juga bisa terjadi konflik, yang berujung ke larangan beribadah, pengusiran dari tempat domisili, bahkan benturan kekerasan. Warga dari sekte yang dianggap menyimpang atau sesat lalu diusir dan jadi pengungsi. Pengungsi ini menjadi urusan pemerintah. Ini terjadi di Sampang, Madura.

Tapi konflik di berbagai daerah bukan terbatas pada isu SARA, tetapi bisa banyak hal lain, seperti: konflik agraria/tanah, ketidakadilan sosial-ekonomi, persaingan politik, dan sebagainya. Salah satu persoalan yang berpotensi menghambat pembangunan adalah konflik-konflik yang berujung pada tindak kekerasan, yang melibatkan warga masyarakat di berbagai daerah. Konflik kekerasan ini menyerap dan menyia-nyiakan energi pemerintah dan publik, sehingga tak bisa fokus dan optimal membangun daerahnya.

Konflik tak bisa selalu dihindari. Selalu ada saja bahan yang menjadi sumber konflik. Maka, yang lebih penting adalah bagaimana cara kita menangani konflik, sehingga konflik itu bisa diselesaikan secara efektif dan tidak berdampak merusak. Yang berbahaya adalah jika konflik-konflik itu berujung ke bentrokan kekerasan yang memakan korban, dan meninggalkan trauma berkepanjangan.

Oleh karena itu, sangat penting untuk menciptakan daerah yang tangguh konflik. Yaitu, bukan berarti menciptakan daerah yang tanpa konflik (suatu yang mustahil), namun menciptakan suatu kondisi di mana konflik-konflik di setiap daerah bisa ditangani sedemikian rupa, sebelum menghasilkan dampak negatif dan kekerasan yang berlebihan. Sementara energi publik yang ada bisa disalurkan ke hal-hal yang lebih produktif dan konstruktif.

Indonesia adalah negara yang sangat plural dan multikultural. Memiliki sekitar 17.000 pulau dan berpenduduk sekitar 255 juta jiwa, Indonesia adalah negara besar yang memiliki banyak suku bangsa (etnis), ras, bahasa, budaya, agama, dan sebagainya. Selain perbedaan-perbedaan yang sifatnya sudah terberikan (given) tersebut, juga terdapat keanekaragaman wilayah dan penduduknya di Indonesia dalam hal kemajuan sosial-ekonomi, politik, pembangunan, infrastruktur, sarana-prasarana, dan sebagainya.

Berbagai perbedaan itu membuka potensi bagi munculnya konflik-konflik di berbagai daerah, yang berangkat dari perbedaan aspirasi dan kepentingan. Konflik itu bervariasi skala keseriusannya, mulai dari friksi sosial biasa sampai menjadi konflik kekerasan berdarah, yang melibatkan berbagai unsur masyarakat.

Terdapat isu-isu strategis terkait dengan konflik tersebut. Isu strategis pertama, konflik yang diwarnai kekerasan serta berdampak serius pada kesejahteraan, ketenteraman, keamanan dan keselamatan masyarakat. Rusaknya harta benda, ancaman hilangnya nyawa, dan dampak-dampak yang tidak langsung terlihat, seperti kerusakan psikologis tiap orang yang terkena.

Isu strategis kedua, konflik-konflik yang diwarnai kekerasan akan menghambat proses pembangunan yang justru sedang mau digalakkan oleh pemerintah. Investor takut berinvestasi di daerah yang dilanda konflik kekerasan, karena merasa investasinya tidak terjamin. Infrastruktur yang rusak atau terganggu akibat konflik juga menghambat pembangunan. Pengembangan ekonomi di berbagai daerah butuh infrastruktur yang kuat dan aman.

Isu strategis ketiga, penanganan konflik yang serius serta proses pembangunan di wilayah-wilayah yang dilanda konflik serius. Hal ini mutlak membutuhkan sosialisasi, komunikasi, koordinasi, kerja sama, dan relasi yang baik antara seluruh pemangku kepentingan yang terkait. Ini melibatkan lembaga di tingkat pusat maupun daerah, juga lintas sektoral.

Tanpa adanya komunikasi, koordinasi, kerjasama, dan berbagai hal tersebut, tidak akan tercipta penanganan konflik yang baik. Dan, dengan demikian, juga tidak terjadi proses pembangunan yang optimal di daerah bersangkutan. Dan kita mengetahui, Indonesia sering lemah dalam masalah koordinasi, kerjasama, komunikasi, antara berbagai pihak terkait tersebut. Entah karena ego sektoral ataupun ego wilayah.

Keterkaitan Antara Isu-isu Strategis

Konflik-konflik yang diwarnai kekerasan, dalam kadar atau derajat yang berbeda-beda, pastilah berdampak negatif pada warga setempat. Dampak itu bisa berupa hilangnya harta benda, keluarga, nyawa, stagnasi atau bahkan kemunduran ekonomi, kemiskinan, dan sebagainya. Konflik sampai tahap tertentu sebetulnya wajar saja dan bisa ditolerir, tetapi konflik kekerasan yang sudah berlebihan pastinya tidak produktif dan bersifat merusak.

Dampak kerusakan yang menjadi keprihatinan adalah tidak berkembangnya, atau lebih tegas lagi tertinggalnya masyarakat dan daerah bersangkutan, dalam derap maju pembangunan nasional. Daerah-daerah yang dilanda konflik serius bisa jauh tertinggal, dibandingkan dengan daerah lain yang relatif bisa meredam dan mengendalikan konflik yang menyangkut warganya.

Untuk menggerakkan, mendorong, dan mendinamisasi pembangunan, dibutuhkan tiga hal. Pertama, kemampuan untuk meredakan atau mengatasi dampak-dampak konflik kekerasan yang sudah terlanjur terjadi. Misalnya, warga yang kehilangan rumahnya, kehilangan sanak keluarganya, kehilangan sumber-sumber nafkah hidupnya, bahkan menderita trauma akibat kekerasan, harus mendapat penanganan yang baik. Karena tanpa partisipasi dan keikutsertaan warga, pembangunan akan sulit dijalankan.

Kedua, penanganan terhadap hambatan-hambatan pembangunan, baik yang bersifat struktural, material, fisik, dan sentimen pasar yang terkait situasi-kondisi dan konteks daerah bersangkutan. Kerusakan infrastruktur akibat konflik kekerasan harus diperbaiki, bahkan ditingkatkan, agar memudahkan investor menanam investasi. Jaminan rasa aman untuk berusaha dan menumbuhkan ekonomi harus ditingkatkan, dan harus senantiasa dijaga.

Penanganan hal pertama, yakni kemampuan menangani dampak-dampak konflik di kalangan warga, akan berpengaruh positif pada hal kedua, yakni berkurangnya hambatan-hambatan pembangunan. Sebaliknya, keberhasilan dalam hal kedua, misalnya mulai masuknya investasi, akan membantu pemerintah dalam mengatasi persoalan dampak konflik yang diderita warga. Kesejahteraan yang tumbuh akibat bergairahnya kehidupan ekonomi ini akan memberi dampak positif pada warga.

Ketiga, peningkatan sosialisasi, koordinasi, kerja sama, konsolidasi, komunikasi, antara berbagai pemangku kepentingan akan mendorong proses yang positif pada hal pertama dan hal kedua, yakni penanganan dampak konflik kekerasan di kalangan warga, dan berkurangnya secara signifikan hambatan-hambatan bagi pembangunan.

Tiga Dimensi Ketangguhan

Dari uraian di atas, terlihat bahwa solusi yang ditawarkan harus bersifat utuh, komprehensif, terpadu, mandiri, dan berkesinambungan. Solusi itu tidak bisa bersifat sepotong-sepotong, sektoral, tetapi harus melibatkan partisipasi seluruh pihak. Sehingga penyelesaiannya nanti bersifat lebih bertahan lama dan tidak mudah digoyahkan.

Dalam konteks dan kriteria yang demikian, perlu diciptakan daerah-daerah tangguh konflik, yakni daerah yang memiliki kemampuan secara mandiri, sistematis, komprehensif dan terpadu dalam meminimalisir potensi dan kejadian konflik, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak-dampak konflik yang merugikan.

Ketangguhan dan atau ketahanan daerah dalam menghadapi konflik mencakup tiga dimensi utama, yakni: tata kelola, kapasitas kelembagaan, dan ketahanan komunitas. Ketiganya memiliki keterkaitan dan hubungan timbal balik, dalam mendorong terciptanya ketahanan daerah. Sedangkan ketahanan daerah akan memberi kontribusi bagi terciptanya ketahanan nasional.

Berdasarkan paparan di atas, kita bisa menyusun konsepsi kebijakan, strategi, dan regulasi, untuk penyelesaian masalah. Kebijakan-kebijakan yang perlu disusun adalah:

Pertama, kebijakan yang menyangkut tata kelola pemerintahan. Tata kelola pemerintahan harus baik dan mendukung penanganan konflik. Tata kelola yang baik akan mendorong tingkat partisipasi, perilaku, dan sikap positif dari semua pihak yang terlibat.

Kedua, kebijakan yang menyangkut kapasitas kelembagaan. Kapasitas kelembagaan ini akan menentukan berlangsung fungsi-fungsi koordinasi, konsolidasi, kerja sama, komunikasi, dan sosialisasi, yang menyangkut banyak lembaga.

Ketiga, kebijakan yang menyangkut ketahanan komunitas/masyarakat. Ketahanan masyarakat ini terkait dengan agama, budaya, adat istiadat setempat, tingkat pendidikan, pendapatan ekonomi, kesehatan masyarakat, dan berbagai faktor lain. Jika terjadi konflik antara sesama anggota masyarakat, perlu ada mekanisme interaksi antara mereka untuk penyelesaian konflik.

Strategi dan Regulasi

Sebetulnya sudah ada regulasi atau peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah-masalah di atas. Artinya, kita tidak perlu mulai dari nol, tapi bisa memulai dengan mengembangkan strategi dan regulasi yang sudah ada. Regulasi itu khususnya adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial di Indonesia.

Intinya perlu dilakukan berbagai upaya untuk meredam potensi konflik yang muncul di masyarakat. Terdapat tiga strategi utama, yakni: 1) Perbaikan sistem tata kelola pemerintahan yang mampu mencegah konflik di tingkat daerah; 2) Peningkatan ketahanan masyarakat itu sendiri terhadap konflik; dan 3) Mendorong berlangsungnya sistem kelembagaan penanganan konflik yang berbasis masyarakat.

Sayangnya tiga strategi utama ini tampaknya belum didukung oleh perangkat kebijakan yang lengkap, baik di tingkat pusat, maupun daerah. Oleh karena itu, kita perlu mendorong segera dilengkapinya perangkat kebijakan bersangkutan. Segala upaya di atas perlu didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, dalam proses mendorong pembangunan melalui pelaksanaan tiga strategi utama, masyarakat harus dilibatkan.

Terakhir, pihak media juga harus dilibatkan, agar bisa mendukung terwujudnya tiga strategi utama tersebut, dalam upaya pembangunan di daerah-daerah rawan konflik. Peran media cukup krusial, apalagi dengan makin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. ***

Artikel ini ditulis oleh: