Jakarta, Aktual.co — Di mata sebagian masyarakat, poligami diartikan negatif bahwa seseorang yang berpoligami tersebut memiliki seks yang tinggi? Apakah itu benar adanya?
Besarnya syahwat seorang pria bukanlah suatu aib jika disalurkan dengan cara yang diridhai oleh Allah Swt, bahkan itu adalah suatu perbuatan yang terpuji. 
Ada alasan yang belum kita ketahui seperti karena ingin mengayomi janda-janda tua. Sehingga kalau mau menikah lagi, carilah perempuan tua yang sudah reot. Atau ingin mengayomi anak yatim, maka cari janda beranak banyak. Entah cerita dari mana yang mengatakan seperti itu dan apa dalilnya?
Mari simak hadist dan Al Quran berikut ini: 
4. Allah mensyari’atkan mandi wajib bagi orang yang selesai melakukan hubungan suami-istriArtinya, ketika mandi, ia telah melakukan ibadah yang sangat besar. Tanpa sengaja, artinya bila seseorang sering melakukan hubungan suami-istri otomatis dia akan sering melakukan mandi wajib. Artinya juga, ia akan semakin sering melakukan ibadah yang sangat dicintai Allah Swt. Pahamilah pernyataan ini dengan benar!
5. Coba kita baca hadits ini dengan perlahanAbu Hurairah meriwayatkan, “Ketika kami bersama Rasulullah Saw, tiba-tiba datang seseorang dan berkata, ‘Ya Rasulullah, celaka aku!’ Beliau berkata, ‘Ada apa denganmu?’ Ia menjawab, ‘Aku menyetubuhi istriku, sedang aku dalam keadaan berpuasa.’ Rasulullah Saw bersabda, ‘Apakah kamu memiliki budak yang bisa kamu merdekakan?’ 
Ia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Ia menjawab lagi, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Apakah kamu bisa memberi makan enam puluh orang miskin?’ Sekali lagi ia menjawab, ‘Tidak.'” Lalu Nabi Saw terdiam.
Ketika kami masih berada dalam keadaan hening (terdiam), didatangkanlah kepada beliau sebuah keranjang yang berisi kurma. Beliau bersabda, “Mana orang yang bertanya tadi?” Ia berkata, “Saya.” Beliau bersabda, “Ambillah ini dan sedekahkanlah dengannya.” Orang tersebut berkata, “Apakah ada orang yang lebih fakir dariku ya Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di antara dua kampung ini rumah yang lebih fakir dari rumahku.” Lantas, tertawalah Nabi Saw sampai nampak gigi taringnya, kemudian beliau bersabda, “Berikan ini kepada keluargamu.”
Hadits di atas bukanlah dongeng. Tapi hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim. Mari kita perhatikan, bagaimana Rasulullah Saw mencarikan solusi supaya sahabatnya yang sudah terlanjur melakukan kesalahan dengan melakukan hubungan suami-istri di siang hari bulan Ramadan, sampai akhirnya ia dimaafkan, bahkan diberi kurma.
Rasulullah Saw tidak mencelanya. Beliau tidak mengatakan, “Dasar kamu, besar syahwat!” Atau, “Miskin-miskin besar nafsu!” Tapi, malah tersenyum dan menutupi kemiskinannya. Karena Rasulullah Saw memahami bahwa hal itu dilakukan di luar kemampuannya. Allah Swt yang telah mengaruniakan nikmat kekuatan syahwat kepadanya, hingga dia tidak sanggup menahan diri walau untuk sehari. Namun, ia salurkan pada jalur yang disahkan oleh Allah Saw, sekalipun waktunya kurang tepat.
Jika ditelusuri siapa sebenarnya sahabat itu, ternyata ia adalah seorang yang sangat menjaga kehormatan diri dan selalu menundukkan pandangannya dari yang haram. Hingga kesehatan tubuh dan fitrah asli yang dikaruniakan Allah Swt kepadanya tidak tercemar dan tidak rusak.
6. Rasulullah bersabdaDari Sa’id bin Jubair, dia berkata, “Ibnu ‘Abbas pernah bertanya kepadaku, ‘Apakah kamu sudah menikah?’ Aku menjawab, ‘Belum.’ Lalu beliau berkata, ‘Menikahlah. Sesungguhnya sebaik-baik umat ini adalah yang paling banyak perempuannya.'”
Syekh Mustafa al-Bugha menanggapi, “Orang yang mempunyai perempuan lebih banyak daripada orang lain, dan redaksi kalimat menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “perempuan” di dalam hadits itu adalah istri-istri.”
Dan banyak lagi dalil lain yang menunjukkan kebolehan laki-laki untuk menikah lebih dari satu karena motif menyalurkan syahwatnya di jalan yang dibenarkan, bahkan dianjurkan oleh Allah Swt.
Inilah hukum dan ketentuan Allah Swt bagi hamba-hamba-Nya. Tidak ada hak bagi kita untuk menentangnya. Hanya satu kalimat yang boleh kita ucapkan:”Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa), “Ampunilah kami, ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (Qs. al-Baqarah [2]:285).
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah Swt dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Qs. an-Nur [24]: 51). Dikutip dari laman dakwah, Senin (27/10).